Polemik Data Kemiskinan, BPS Klarifikasi Standar dan Cara Membaca Angka

Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti memberikan klarifikasi soal polemik data kemiskinan dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi X DPR, di Jakarta, Selasa (26/8/2025). Foto: Youtube/ TVP.

JAKARTA, mulamula.id Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, meluruskan isu yang ramai di media sosial terkait penurunan angka kemiskinan di Indonesia. Ia menegaskan, tudingan bahwa BPS “memoles” data demi citra pemerintah adalah keliru.

“Kalau ada pembicaraan di lini masa bahwa kami menurunkan garis kemiskinan, itu tidak benar,” ujar Amalia saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi X DPR RI, Selasa (26/8/2025).

Literasi Statistik Jadi Kunci

Amalia menilai, perdebatan publik kerap muncul karena rendahnya literasi statistik. Banyak masyarakat ingin ikut menafsirkan data, tetapi sering keliru membaca angka yang disajikan. “Cara membaca data dan menerjemahkan angkanya masih belum pas,” ujarnya.

BPS, jelas Amalia, selalu berpegang pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan setiap Maret dan September. Survei ini tak hanya memotret angka kemiskinan, tetapi juga rasio gini, indeks pembangunan manusia, hingga angka melek huruf.

Bagaimana BPS Mengukur Kemiskinan?

Data kemiskinan yang dirilis BPS ditentukan oleh garis kemiskinan, yakni batas minimum pengeluaran seseorang untuk kebutuhan makanan dan non-makanan. Garis ini terus diperbarui mengikuti inflasi.

Per Maret 2025, garis kemiskinan nasional ditetapkan Rp 609.160 per kapita per bulan, naik 2,34 persen dari September 2024. Angka ini setara Rp 20.305 per hari.

Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi 5,2% Dipertanyakan, BPS Diminta Transparan

Namun, Amalia menekankan, angka tersebut tidak bisa dibaca per individu semata. “Yang tepat adalah garis kemiskinan rumah tangga. Untuk keluar dari garis kemiskinan, pengeluaran rumah tangga minimal harus Rp 2,87 juta per bulan,” tegasnya.

Beda dengan Bank Dunia

Perbedaan standar BPS dan Bank Dunia juga memicu kebingungan. Bank Dunia menggunakan ukuran US$2,15 per orang per hari (PPP), sedangkan BPS berpegang pada kondisi aktual rumah tangga Indonesia. Amalia menyebut, standar nasional lebih kontekstual karena mempertimbangkan pola konsumsi masyarakat Indonesia.

Diskusi tentang data kemiskinan di media sosial sering terjebak pada angka semata. Padahal, konteks metodologi sangat menentukan. Ketika publik hanya melihat nominal Rp 609 ribu per kapita, banyak yang menilai angka itu terlalu rendah.

“Padahal, yang harus dilihat adalah total pengeluaran rumah tangga. Jadi bukan sekadar nominal per kapita,” kata Amalia.

Polemik ini, menurut Amalia, seharusnya jadi momentum untuk meningkatkan literasi statistik. Data BPS bukan sekadar angka, tetapi potret kesejahteraan masyarakat yang bisa dipakai untuk evaluasi kebijakan.

“Semakin banyak masyarakat memahami cara membaca data, semakin baik pula kualitas diskusi publik kita,” pungkasnya. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *