
Analisisis Hukum
GELOMBANG unjuk rasa pada penghujung Agustus 2025 di Jakarta dan berbagai kota lain menyisakan satu tuntutan yang menggema,segera sahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana. Bersama isu demokrasi dan biaya hidup, dorongan publik untuk memperkuat instrumen hukum pemberantasan korupsi ini masuk dalam daftar “17+8 Tuntutan Rakyat”.
Ironisnya, hingga awal September, status RUU ini masih status quo. Baleg DPR menyebut naskahnya “menunggu formulasi”, belum jelas apakah akan diajukan sebagai usul pemerintah atau inisiatif DPR. Padahal, kerugian negara akibat korupsi terus membengkak dari tahun ke tahun, sementara pemulihan aset berjalan jauh lebih lambat.
Mengapa RUU Ini Didesak?
Inti dari RUU Perampasan Aset adalah memberi jalan hukum untuk merampas hasil kejahatan tanpa menunggu putusan pidana inkracht. Mekanisme ini dikenal sebagai non-conviction based (NCB), melengkapi sistem yang selama ini hanya bergantung pada vonis pengadilan.
Baca juga: Prabowo Malu Kasus Noel, “Tak Ingat Anak Istri Saat Terjerat Korupsi?”
Artinya, jika pelaku korupsi meninggal, kabur, atau proses pidananya berlarut-larut, aset yang diduga berasal dari kejahatan tetap bisa dibekukan, disita, lalu dirampas untuk negara. Praktik serupa telah lama diadopsi banyak negara dan juga menjadi amanat United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).

RUU ini diharapkan menutup celah hukum yang selama ini membuat sebagian hasil korupsi tetap aman meski pelaku terselamatkan oleh keadaan.
Jejak Panjang Tarik-Ulur
Upaya merumuskan RUU ini bukan barang baru. Naskah akademiknya rampung sejak 2012. Namun, sejak era Presiden SBY, Jokowi, hingga kini, ia lebih sering jadi “tamu abadi” Prolegnas.
- 2012–2013: masuk perencanaan, tak kunjung dibahas.
- 2014–2023: keluar-masuk daftar prioritas tahunan, tanpa progres berarti.
- 2024: akhirnya masuk Prolegnas 2025–2029, tetapi tidak dipilih sebagai prioritas 2025.
- 2025: pemerintah menyatakan terbuka jika DPR mau mengajukan, asal naskahnya lengkap dan harmonis dengan KUHAP serta UU TPPU. Baleg pun menilai materi lama harus diperbarui.
Puncaknya, akhir Agustus 2025, massa di jalan menempatkan RUU ini dalam tuntutan utama. Bahkan sempat beredar kabar bohong bahwa RUU telah disahkan pasca demo, yang segera dibantah pemerintah.
Maju-mundur, Kenapa Selalu Gagal Ditetapkan?
Setidaknya ada lima alasan kenapa RUU ini tersendat lebih dari satu dekade:
- Kalkulasi politik – RUU ini berpotensi menyasar aset pelaku white collar crime. Resistensi di balik layar tinggi karena menyentuh kepentingan elite.
- Perdebatan HAM dan due process – kekhawatiran bahwa aset bisa dirampas tanpa putusan pidana. Para pakar menekankan pentingnya standar pembuktian kuat serta perlindungan bagi pihak ketiga beritikad baik.
- Teknis legislasi – banyak pasal harus diharmonisasi dengan KUHAP dan TPPU. Tanpa itu, rawan tumpang-tindih.
- Silos kelembagaan – belum jelas siapa pemegang kendali utama: KPK, Kejaksaan, Polri, atau unit baru pengelola aset.
- Agenda DPR yang padat – prioritas politik lain sering menyingkirkan RUU ini dari meja pembahasan.
Kerugian Triliunan, Pemulihan Jauh dari Harapan
Fakta di lapangan menunjukkan jurang menganga antara kerugian akibat korupsi dan aset yang berhasil dipulihkan:
- 2023: ICW mencatat kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp28,4 triliun dari 791 kasus.
- 2013–2022: akumulasi kerugian tercatat Rp238,14 triliun.
- 2023: KPK hanya mampu memulihkan aset senilai Rp525,4 miliar.
Baca juga: Baru Satu Bulan Menjabat, Wamenaker Noel Sudah Minta Jatah Rp3 Miliar
Angka-angka ini menunjukkan pemulihan aset masih jauh tertinggal. Tanpa mekanisme baru, sulit membayangkan jarak tersebut bisa ditutup.

Apa yang Berubah Jika RUU Disahkan?
Jika disahkan, RUU Perampasan Aset memberi jalan cepat untuk:
- Membekukan, menyita, dan merampas aset tanpa menunggu putusan pidana.
- Memperkuat efek jera, karena hasil korupsi tak lagi aman.
- Menghadirkan transparansi lewat mekanisme keberatan dan pengawasan hakim.
- Mengoptimalkan pengelolaan aset negara dengan potensi tambahan PNBP.
Namun, risiko tetap ada. Salah rampas bisa merugikan warga yang beritikad baik. Karena itu, desain aturan perlu mengutamakan checks and balances, mekanisme keberatan cepat, audit publik, hingga laporan periodik.
Prospek Pasca Demo Agustus
Pertanyaannya kini, apakah gelombang unjuk rasa cukup kuat mengguncang Senayan? Baleg mengisyaratkan pembahasan bisa masuk jika ada konsensus politik. Publik pun menunggu apakah RUU ini akan ditambahkan ke prioritas tahunan.
Baca juga: Doktor Disertasi Antikorupsi, Kini Jadi Tersangka Korupsi
Di sisi lain, hoaks tentang “RUU sudah disahkan” menjadi alarm bahwa isu ini rawan dipelintir. Pemerintah dan DPR perlu membuka ruang komunikasi yang lebih transparan agar publik tidak sekadar digantung dengan janji.
RUU Perampasan Aset adalah cermin dari tarik-ulur panjang politik hukum di Indonesia. Ini adalah janji lama yang terus tertunda, sementara kerugian akibat korupsi terus menumpuk. Demonstrasi Agustus 2025 memperlihatkan bahwa kesabaran publik sudah menipis.
Kini, bola ada di Senayan dan Istana. Saatnya membuktikan komitmen antikorupsi, bukan sekadar menambah daftar panjang RUU yang tertunda. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.