
DRAMA hukum Korea Beyond the Bar di Netflix kembali memunculkan kasus rumit yang menyentuh ranah psikologi dan hukum. Episode kedelapan, berjudul Wonder Woman, mengisahkan seorang presenter TV yang dituduh menganiaya suaminya hingga masuk rumah sakit. Di balik kasus ini tersimpan kisah panjang tentang kekerasan dalam rumah tangga dan perjuangan seorang perempuan menghadapi trauma.
Presenter TV di Kursi Terdakwa
Han Seol-yeon, sosok publik yang dikenal lewat layar kaca, tiba-tiba harus duduk di kursi terdakwa. Ia dituduh menyerang suaminya secara brutal setelah bertengkar di meja makan. Fakta yang terungkap di pengadilan menunjukkan Seol-yeon telah lama menjadi korban KDRT. Untuk bertahan, ia mengonsumsi obat psikiatrik yang diresepkan dokter.
Masalah muncul ketika efek obat itu memicu perilaku impulsif dan reaktif. Pada malam kejadian, Seol-yeon mengalami “blackout” dan diduga tak sepenuhnya menyadari tindakannya. Di sisi lain, rekaman keamanan menunjukkan adanya jejak kekerasan rumah tangga yang terus-menerus ia alami.
Perspektif Hukum
Kasus ini mengangkat konsep diminished capacity, ketidakmampuan seseorang untuk mengendalikan perbuatan akibat kondisi medis atau psikologis. Di banyak yurisdiksi, termasuk Korea, hal ini bisa menjadi alasan pembelaan.
Baca juga: Beyond the Bar (7): Dari Janji Sehidup Semati ke Vonis Penjara
Dalam konteks Indonesia, isu ini berkaitan dengan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang menempatkan korban KDRT berhak atas perlindungan hukum dan rehabilitasi.
Selain itu, KUHP mengenal konsep tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana jika pelaku berada dalam kondisi gangguan jiwa atau kehilangan kemampuan menguasai diri.

Pembelaan seperti ini menunjukkan bahwa hukum harus mempertimbangkan bukan hanya perbuatan, tetapi juga kondisi mental dan situasi sosial yang melatarbelakanginya.
Putusan dan Pesan Sosial
Hakim akhirnya memutuskan Han Seol-yeon tidak bersalah. Putusan ini menegaskan bahwa ia adalah korban yang terjebak dalam lingkaran kekerasan, bukan pelaku kriminal murni. Meski bebas, episode ini meninggalkan pertanyaan lebih luas: bagaimana sistem hukum bisa lebih awal melindungi korban KDRT agar tidak sampai masuk ke posisi terdakwa?
Baca juga: Beyond the Bar (6): Cinta, Luka, dan ‘Consent’ yang Diperdebatkan
Bagi publik, cerita ini membuka mata bahwa kekerasan dalam rumah tangga bisa berdampak panjang. Fisik, psikis, hingga hukum. Bagi mahasiswa hukum dan praktisi, kasus ini menjadi refleksi penting tentang bagaimana bukti medis dan psikologis memainkan peran vital di ruang sidang.
Beyond the Bar kembali berhasil menghadirkan drama penuh emosi yang sekaligus memancing diskusi serius tentang hukum, psikologi, dan keadilan gender. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.
Dukung Jurnalisme Kami: https://saweria.co/PTMULAMULAMEDIA