Ombudsman Soroti 8 Masalah Program Makan Bergizi Gratis

Siswa sekolah dasar menikmati santapan Program Makan Bergizi Gratis di salah satu sekolah di Jakarta.
Foto: Instagram/presidenindonesia.

JAKARTA, mulamula.id Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah untuk meningkatkan gizi anak sekolah menghadapi tantangan serius. Ombudsman RI mengungkapkan delapan masalah utama yang harus segera dibenahi agar program ini tidak kehilangan kepercayaan publik.

“Temuan ini menunjukkan bahwa perbaikan mendesak diperlukan untuk memastikan tujuan program tercapai dan tidak menimbulkan keresahan masyarakat,” kata Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (30/9).

Masalah pertama adalah kesenjangan lebar antara target penerima manfaat dan realisasi di lapangan. Banyak daerah tidak mampu mencapai jumlah penerima yang direncanakan akibat lemahnya koordinasi dan distribusi.

Keracunan Massal dan Kualitas Pangan

Masalah kedua yang paling disorot adalah maraknya kasus keracunan massal. Ombudsman mencatat 34 kejadian luar biasa (KLB) keracunan terkait program MBG sejak Januari hingga September 2025. Ribuan siswa menjadi korban.

Beberapa kasus besar antara lain:

  • Garut, Jawa Barat: 657 siswa keracunan setelah mengonsumsi nasi kotak.
  • Kulonprogo, Yogyakarta: 497 siswa sakit akibat menu yang diolah tanpa disiplin standar.
  • Kasus terbesar: 1.333 siswa keracunan karena makanan terlambat didistribusikan dan tidak higienis.
  • Lebong, Bengkulu: 539 siswa keracunan.
  • Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah: ratusan siswa keracunan.
  • Bogor, Jawa Barat: lebih dari 200 siswa keracunan karena ikan cakalang.
  • Bangka Belitung: puluhan siswa sakit akibat makanan basi karena terlambat distribusi.

“Rangkaian peristiwa ini menjadi momentum untuk memperkuat standar keamanan pangan dan disiplin distribusi,” ujar Yeka.

Transparansi dan Beban SDM

Masalah lain meliputi proses penetapan mitra yayasan dan penyedia jasa pangan (SPPG) yang tidak transparan dan rawan konflik kepentingan. Guru dan relawan juga menghadapi beban kerja berat, termasuk keterlambatan honorarium.

Keterbatasan SDM dan lemahnya pengawasan memperburuk masalah. Standar kualitas bahan baku yang tidak tegas, penerapan standar makanan yang tidak konsisten, serta distribusi yang membebani guru menjadi sorotan utama.

Sistem Pengawasan Lemah

Ombudsman juga menyoroti sistem pengawasan yang bersifat reaktif dan belum terintegrasi berbasis data. Hal ini membuat deteksi dini masalah dan penanganan cepat menjadi sulit.

Baca juga: Ratusan Pelajar Keracunan, Ayam Asam Gegerkan Program Makan Gratis

Menurut Yeka, lemahnya pengawasan membuka peluang maladministrasi yang mengancam keberlangsungan program MBG. Ombudsman mengidentifikasi empat potensi maladministrasi: penundaan berlarut, diskriminasi, lemahnya kompetensi dalam penerapan SOP, dan penyimpangan prosedur.

“Prinsip pelayanan publik, yakni kepastian, akuntabilitas, dan keterbukaan, harus ditegakkan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009,” tegas Yeka.

Perbaikan Jadi Kunci

Ombudsman mendesak pemerintah melakukan langkah perbaikan cepat, terukur, dan transparan. Perbaikan standar keamanan pangan, distribusi yang tertib, dan pengawasan berbasis data dinilai menjadi fondasi agar program MBG tetap dipercaya publik.

“Program ini jangan sampai menjadi pemicu kemarahan masyarakat. Justru harus menjadi wujud kehadiran negara dalam memenuhi hak gizi anak-anak,” pungkas Yeka. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *