Ironi Iklim Negara Pulau Kecil, 1 Persen Emisi 100 Persen Risiko

Pemandangan udara Tuvalu di Samudra Pasifik, salah satu negara pulau kecil yang paling rentan terhadap kenaikan permukaan laut. Meski menyumbang kurang dari satu persen emisi global, Tuvalu menanggung dampak paling parah dari krisis iklim dunia. Foto: Instagram/ @ow .

NEGARA-negara pulau kecil di dunia sedang menghadapi kenyataan paling pahit dari krisis iklim. Mereka nyaris tidak berkontribusi pada penyebabnya, tapi menanggung dampak paling besar.

Menurut laporan terbaru Global Commission on Adaptation (GCA), Negara-Negara Berkembang Pulau Kecil (Small Island Developing States/SIDS) bisa kehilangan hingga 476 miliar dolar AS pada tahun 2050 jika langkah adaptasi tidak segera dipercepat.

Masalahnya, mereka hanya menyumbang kurang dari 1 persen emisi global.
Ironis? Sangat.

Antara Laut Naik dan Waktu yang Habis

Di Kepulauan Marshall, Maladewa, dan Tuvalu, daratan kian sempit. Permukaan laut naik, badai makin sering datang, dan air asin mulai meresap ke sumber air bersih.
“Waktu kami hampir habis,” kata Presiden Kepulauan Marshall, Hilda Heine, dikutip dari Down to Earth (9/10/2025).

Baca juga: Tuvalu, Surga Kecil yang Terancam oleh Perubahan Iklim

Masalah lain muncul, utang.
Lebih dari 70 persen negara SIDS kini terancam krisis utang, bahkan tujuh di antaranya sudah di ambang gagal bayar. Rasio utang terhadap PDB mereka melampaui 100 persen.
Kalau mau membangun tembok laut atau memperkuat pelabuhan? Harus pinjam uang lagi.

Dana Iklim Tak Sampai

Kebutuhan adaptasi negara pulau kecil diperkirakan mencapai 12 miliar dolar AS per tahun. Tapi yang mereka dapat?
Cuma sekitar 2 miliar dolar AS, atau 0,2 persen dari total dana iklim global.
Dan yang bikin tambah nyesek, hampir setengahnya datang dalam bentuk utang baru, bukan hibah.

Baca juga: Ketimpangan Dana Iklim vs. Proyek Perusak di COP29

Desain Grafis: Daffa Attarikh/ MulaMula.

Menurut laporan Oxfam dan CARE, sebagian besar dana adaptasi bahkan hanya mengalir ke 10 dari 39 negara. Negara lainnya nyaris tak tersentuh.

Adaptasi itu Bukan Beban

Padahal, GCA menunjukkan setiap 1 dolar yang diinvestasikan untuk adaptasi bisa menghasilkan manfaat ekonomi hingga 6,5 dolar.
Artinya, adaptasi bukan beban, tapi peluang.

Baca juga: Rp4.500 Triliun buat Iklim, Siapa Bayar Tagihannya?

Investasi sederhana seperti infrastruktur tahan badai, pertanian adaptif, atau energi bersih bisa mengurangi potensi kerugian hingga 50 persen pada 2050.
Namun tanpa dukungan global yang adil, peluang itu akan lewat begitu saja.

Keadilan Iklim, Bukan Sekadar Wacana

GCA menyerukan agar negara maju meningkatkan pendanaan enam kali lipat, menutup kesenjangan hibah, dan memperluas skema seperti debt-for-nature swap, penukaran utang dengan investasi aksi iklim.

Baca juga: COP30, Perjuangan Negara Berkembang untuk Keadilan Iklim

Negara pulau kecil mungkin kecil di peta dunia, tapi besar dalam memberi pelajaran bahwa ketidakadilan iklim itu nyata.
Mereka tak bersalah, tapi justru paling menderita. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *