Energi 2050, Dunia Masih Belum Move On dari Fosil

Asap dari cerobong pabrik membelah langit biru senja—pengingat bahwa di balik modernitas dan teknologi, dunia masih bergantung pada energi fosil. Foto: Manfred Langpap/ Pexels.

KITA hidup di era yang katanya “serba hijau”, tapi kenyataannya dunia masih susah lepas dari bahan bakar fosil. Minyak, gas, dan batu bara masih jadi sumber energi utama di seluruh planet, bahkan sampai tahun 2050 nanti.

Menurut laporan McKinsey & Company: Global Energy Perspective 2025, sekitar 55 persen energi global pada 2050 masih akan datang dari sumber fosil. Padahal, hampir semua negara sudah berkomitmen menuju net zero emission di pertengahan abad ini.

Permintaan Listrik Meledak

Masalah utamanya, permintaan listrik dunia naik gila-gilaan. Sektor industri dan bangunan diprediksi menyumbang kenaikan 20–40 persen kebutuhan listrik pada 2050. Belum lagi pusat data dan teknologi AI yang haus energi.

Baca juga: Jejak Emisi Perusahaan Energi Fosil Sebabkan Kerugian Rp 471 Kuadriliun

Di Amerika Serikat saja, permintaan listrik untuk pusat data tumbuh 25 persen tiap tahun hingga 2030. Secara global, angkanya sekitar 17 persen per tahun. Jadi, meskipun panel surya dan turbin angin makin banyak, laju pertumbuhannya belum cukup untuk menutupi ledakan permintaan itu.

Gas dan Batu Bara Masih Jadi Primadona

McKinsey menyebut, penggunaan gas alam akan tumbuh pesat karena dianggap lebih “ramah” dibanding batu bara. Tapi ironisnya, penggunaan batu bara juga naik di banyak negara berkembang. Alasannya klasik, yakni murah, tersedia, dan bisa menjaga pasokan energi tetap stabil.

Desain Grafis: Daffa Attarikh/ MulaMula.

Permintaan minyak pun belum akan mencapai puncaknya sebelum 2030-an. Dengan kata lain, dunia belum siap benar-benar lepas dari fosil.

Baca juga: Antara Ideal dan Biaya, Dilema Indonesia dalam Transisi Energi

Tantangan Besar Menuju Net Zero

Kondisi ini jelas bikin target nol emisi bersih makin berat. McKinsey memperkirakan bahan bakar alternatif seperti hidrogen atau biofuel baru akan digunakan luas setelah 2040, kecuali kalau pemerintah dunia berani bikin aturan wajib yang ketat.

Kalau tidak, kita akan terjebak di “transisi setengah hati”: teknologi makin canggih, tapi sumber energinya masih yang sama.

Baca juga: PBB Desak Pengalihan Subsidi Fosil untuk Energi Bersih

Masih ada sisi cerahnya. McKinsey juga memperkirakan energi terbarukan seperti surya dan angin bisa memenuhi 61–67 persen kebutuhan global pada 2050, asal investasi dan kebijakannya konsisten.

Artinya, dunia masih punya waktu asalkan benar-benar serius meninggalkan masa lalu yang berasap. Karena tanpa keberanian berubah, 2050 nanti bisa jadi bukan masa depan hijau, tapi masa depan yang masih hitam… oleh fosil. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *