
IINDUSTRI travel sedang bergeser cepat. Bukan pelan-pelan, tapi melompat. Mesin rekomendasi, chatbot, itinerary otomatis, semuanya kini dikerjakan kecerdasan buatan. Dan perubahan ini mulai terasa dari cara kita mencari tiket sampai memilih destinasi liburan.
Menurut Grand View Research dalam Indonesia Tourism Outlook 2025–2026, nilai pasar AI di sektor pariwisata diprediksi menyentuh US$4,3 miliar tahun 2025 dan melonjak ke US$13,9 miliar tahun 2030. Pertumbuhannya brutal, 26,7% per tahun.
Bagi industri travel, AI bukan lagi fitur tambahan. AI sudah jadi mesin utama.
Invisible Travel Agent, Agen Travel Tanpa Wajah
Platform besar seperti Expedia, Trip.com, Airbnb, hingga OTA global lain, kini mengandalkan AI generatif untuk memetakan perjalanan secara instan. Mulai dari hotel, pesawat, aktivitas, sampai rekomendasi personal, semuanya dibereskan dalam hitungan detik.
Baca juga: Turis Dunia Lagi Cari ‘Pengalaman Asli’, Indonesia Punya Barangnya
Survei Amadeus menunjukkan 61% pelaku industri di Asia Pasifik menjadikan Gen AI sebagai prioritas utama. Ini tanda bahwa peran agen perjalanan tradisional makin mengecil. Kita memasuki era invisible travel agent, bekerja tanpa meja, tanpa wajah, dan tanpa jeda.
Risiko Baru, Deepfake Destinasi & Bias Algoritma
Tapi inovasi sebesar ini datang dengan konsekuensi besar.
- Destinasi deepfake
Foto palsu makin realistis dan bisa menipu wisatawan. - Bias rekomendasi
Algoritma bisa mengarahkan perjalanan berdasarkan kepentingan platform, bukan kebutuhan wisatawan. - Risiko kebocoran data
Aplikasi travel mengumpulkan data pengguna dalam volume masif. - Ketimpangan digital
Negara maju seperti Jepang, Singapura, UEA melesat cepat.
Negara berkembang? Masih banyak yang meraba-raba.
Dalam konteks ini, suara praktisi lokal penting. Kata Ade Noerwenda, pakar pariwisata berkelanjutan Indonesia:
“AI mengubah bukan hanya cara orang merencanakan perjalanan, tetapi cara destinasi harus berpikir. Pariwisata tidak lagi soal tempat yang indah, tapi tentang data yang cerdas.”
Kalimat ini tepat sasaran. Destinasi tanpa kapasitas data bakal hilang dari radar.

Indonesia Mau ke Mana?
Pertanyaan hari ini bukan mau pakai AI atau tidak. Tapi seberapa cepat bisa menyesuaikan diri. Outlook menyebut 41% pelaku industri global sudah menyiapkan anggaran khusus untuk implementasi Gen AI.
Baca juga: Cara Baru Industri Travel ‘Menjual’ Keberlanjutan
Sementara itu, wisatawan generasi baru juga berubah cepat. Survei EY menunjukkan 48% wisatawan global siap memakai asisten virtual berbasis AI untuk merencanakan liburan.
Indonesia punya peluang besar, tapi juga pekerjaan rumah besar:
🔹 1. Kebijakan yang jelas
Perlu standardisasi penggunaan AI di pariwisata, terutama soal keamanan data dan etika algoritma.
🔹 2. National Tourism Data Hub
Agar data perilaku wisatawan bisa dipantau dan dianalisis secara real-time.
🔹 3. SDM melek digital
Tanpa literasi data dan pemahaman dasar AI, teknologi hanya akan jadi milik segelintir pemain besar.
Baca juga: Travel Hijau, Bisnis Baru Dunia Wisata
🔹 4. Perkuat travel-tech lokal
Jika Indonesia hanya menjadi pasar, kita kehilangan kedaulatan atas data wisatawan sendiri.
Kesimpulan Outlook tegas. AI adalah arena kompetisi destinasi. Siapa yang terlambat, akan tersingkir. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.