Banjir Sumatra Bongkar Sisi Gelap Energi Terbarukan

Jembatan utama di jalan lintas Sumatra kawasan Kutablang, Bireuen, Aceh, putus setelah banjir besar menerjang wilayah ini. Warga terpaksa menunggu perahu penyeberangan darurat untuk bergerak antar-desa karena akses jalan lumpuh total. Foto: Idris Bendung.

BANJIR besar di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat bukan cuma soal cuaca ekstrem. Di balik lumpur, akses terputus, dan warga yang menyeberang pakai perahu, muncul pertanyaan baru apakah ekspansi energi terbarukan ikut menyumbang risiko bencana?

Kementerian Lingkungan Hidup dan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) kini membuka penyelidikan atas dugaan tersebut. Menteri LH/Kepala BPLH, Hanif Faisol Nurofiq, menyebut ada indikasi perubahan bentang alam akibat pembangunan proyek energi, terutama PLTA dan panas bumi.

“Memang ada kegiatan yang mengubah bentang alamnya,” kata Hanif, Senin (1/12), usai menghadiri pemberian penghargaan ProKlim.

Energi Hijau Kok Bisa Jadi Masalah?

Selama ini energi terbarukan dipasarkan sebagai “ramah lingkungan.” Namun di lapangan, pembangunan infrastrukturnya tetap butuh lahan, akses jalan, terowongan air, bendungan, hingga pembersihan hutan.

Di Sumatra saja, ada 28 proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan delapan pembangkit panas bumi (PLTP) yang sudah atau sedang berjalan. Jaringan eksplorasi juga terus membentang dari pegunungan hingga wilayah sungai.

Baca juga: Banjir Bandang Sumatra, Bukti Rapuhnya Manajemen Daerah Aliran Sungai

Bukan hanya menghasilkan listrik bersih, sejumlah proyek itu ikut mengubah topografi wilayah penyangga banjir.

Temuan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebut PLTA Batang Toru di Sumatra Utara sudah membuka lebih dari 56 hektare kawasan hutan untuk pembangunan fasilitasnya. Perombakan sungai, pengeboran, dan pergerakan tanah berpotensi mempengaruhi pola sedimen dan aliran air ke hilir.

“Jika curah hujan ekstrem datang bersamaan dengan pengelolaan bendungan yang buruk, risiko longsor dan banjir ikut membesar,” tulis Jatam dalam laporannya.

Tekanan Ruang Berlapis

Sumatra bukan hanya rumah energi terbarukan. Pulau ini juga masih menjadi basis pertambangan besar, sekitar 2,45 juta hektare area tambang aktif dengan 1.907 izin usaha.

Desain Grafis: Daffa Attarikh/ MulaMula.

Jika semua aktivitas itu ditumpuk di satu pulau yang sistem hidrologinya sudah rapuh, maka tekanan ekologinya makin berat. Mulai dari limpasan permukaan, sedimentasi, hingga rusaknya daerah aliran sungai (DAS).

Baca juga: Aceh Terputus di Kutablang, Ribuan Harapan Menunggu…

Banjir yang menenggelamkan permukiman dan memutus akses di Aceh hingga Sumut menjadi gambaran nyata risiko tersebut.

Pemerintah Mulai Turun Tangan

KLH meminta akademisi di Aceh, Sumut, dan Sumbar untuk membantu analisis lapangan. Pemerintah juga menyiapkan opsi sanksi jika pelanggaran lingkungan terbukti terjadi.

Investigasi ini bukan hanya soal menyalahkan industri, tapi tentang bagaimana transisi energi dirancang agar benar-benar aman bagi alam dan masyarakat.

Jalan ke Depan

Kasus Sumatra jadi wake-up call. Energi terbarukan tidak otomatis bebas risiko.

Proyek hijau tetap bisa menciptakan bencana jika:

• lokasinya sensitif,
• mitigasi dampaknya lemah, atau
• tata kelola izin belum matang.

Transisi energi tetap penting, tapi tetap butuh pengawasan ketat, studi lingkungan yang jujur, dan rencana ruang yang tidak mengorbankan alam.

Jika tidak, ambisi “energi bersih” justru meninggalkan jejak kotor di sungai, hutan, dan kehidupan warga. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *