
Bukan air yang menenggelamkan Aceh setelah banjir besar November 2025. Tetapi kegelapan, sinyal mati, kelangkaan barang, dan rasa kehilangan kendali atas hidup sendiri.
BANDA Aceh malam itu tampak utuh dari jauh.
Tidak ada lumpur, tidak ada puing rumah hanyut. Tetapi, ketika Batik Air mendarat pada pukul 19.44 di Bandara Sultan Iskandar Muda, kenyataan pertama yang terasa justru sinyal telepon yang putus-putus.
“Lampu mati di mana-mana. Sinyal melayang naik turun. Baterai cepat habis karena terus mencari jaringan,” kata Pilo Poly, warga Aceh yang pulang dari perantauannya di Jakarta.
Kota itu memang tidak tersapu banjir, tetapi urat nadinya patah.
Denyut hidup hilang, ritme sosial memucat. Aceh selamat dari air, namun tidak selamat dari mati listrik, harga yang melonjak, dan komunikasi yang terputus.
Gelap yang Tidak Sekadar Ketiadaan Cahaya
Perjalanan Pilo dari bandara menggambarkan absurditas itu.
Warung kopi besar yang punya genset jadi titik terang. Bukan sekadar cahaya, tetapi tempat orang mencari sinyal, mengisi daya, menyambung hidup.
Tetapi beberapa meter dari sana, gelap kembali menelan kota.
“Tempat lain padam, Puspom menyala seperti tumbuhan yang tak berkedip,” tulisnya.
Puluhan ribu warga Aceh malam itu bukan takut banjir, tetapi takut kehabisan baterai. Takut kehilangan akses berita keluarga, bantuan, dan kabar hidup.
‘Kami Duduk di Luar Rumah, Melihat Langit’
Di Banda Aceh, gelap bukan hanya ruang. Gelap adalah rutinitas baru.
“Begini nasib kami di malam hari,” kata Ali Raban, warga Banda Aceh.
“Kami duduk di luar rumah memandang langit, listrik tidak menyala. Kami bicara dengan keluarga sebelum baterai habis. Pagi hari kami numpang cas HP di warung kopi.”
Ada kota-kota yang tidak disapu banjir, tetapi tenggelam dalam gelombang sunyi setelah bencana.
Banda Aceh salah satunya.

‘BBM Antre tak Habis-habis, Beras Sulit Dicari’
Di Bireuen dan kabupaten lain, realitasnya lebih getir.
Tak ada air bandang lagi, tapi kehidupan tetap terjerat kelangkaan.
“Kami benar-benar heran,” kata Jahlul, warga Gandapura, Bireuen.
“BBM antre tidak habis-habis orangnya, katanya stok ada. Harga barang juga naik semaunya. Gudang Bulog ada, tapi beras makin sulit didapat.”
Bencana bagi Aceh bukan hanya air, tetapi ketidakpastian.
Antrean BBM Dua Kilometer, Demi Bertahan
Sementara di Bireuen, pemandangan umum adalah antrean panjang BBM. “Antrean dua kilometer lebih sejak Magrib,” cerita Muzammil.
“Miris sekali. Cari minyak (BBM) habis minyak (BBM kendaraan). Akses terputus, air lama surut. Dampak banjir masih terasa,” tambahnya.
Orang-orang berdiri di bawah tiang listrik mati, menunggu sinyal, menunggu bensin, menunggu bantuan. Menunggu hidup kembali normal.

Yang Terselamatkan Justru yang tidak Sempat Membicarakannya
Di pedalaman Aceh Tamiang, Pidie Jaya, dan Aceh Tenggara serta 15 kabupaten kota lainnya di Aceh, ribuan warga masih belum tersentuh bantuan karena akses jalan rusak total.
Rumah terkubur lumpur, jembatan hilang, desa terisolasi tanpa suara.
Satu ironi terkuatnya.
Kota yang tidak banjir justru lebih terdengar, sementara desa yang nyaris habis justru tak terdengar karena sinyal, akses, listrik, dan komunikasi mati.

Ini Bukan Soal Gelap, ini Soal Arah
Testimoni warga menegaskan satu hal.
Ketahanan Aceh rapuh. Bukan karena alam, tetapi karena sistem.
Di era ketika:
- evakuasi butuh komunikasi,
- logistik bergantung listrik,
- UMKM bergantung sinyal,
- keluarga bergantung HP untuk meminta tolong
maka listrik dan jaringan bukan fasilitas, tetapi bagian dari keselamatan itu sendiri.
Seharusnya dua sektor ini berada di garis depan penanganan bencana.
Namun Aceh menunjukkan kenyataan berbeda.
Puluhan BTS hidup-mati, ribuan titik listrik belum pulih, dan puluhan ribu warga hidup dalam gelap dan sunyi.

Aceh Mengingatkan Kita: Kota Utuh, Hidup yang Retak
Bencana telah surut.
Air telah pergi.
Tetapi residunya menempel di langit kota.
Rasa kehilangan arah.
Aceh tidak butuh kasihan.
Aceh butuh solidaritas, perhatian, dan perubahan cara negara memaknai pemulihan.
Karena Aceh malam itu mengajarkan bahwa sebuah kota bisa berdiri tanpa banjir. Tetapi bisa roboh secara fungsional ketika terang dan sinyal, dua nadi modern, ikut tenggelam. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.