
DI KETINGGIAN lebih dari 3.500 meter di atas permukaan laut, udara terasa lebih tipis, kadar oksigen menipis, dan manusia umumnya menghadapi risiko hipoksia—kondisi ketika tubuh kekurangan oksigen. Namun, bagi masyarakat asli Tibet, lingkungan ekstrem ini bukan hambatan, melainkan tempat mereka bertahan dan berkembang selama ribuan tahun. Bagaimana mereka mampu melakukannya?
Hipoksia dan Respons Tubuh Manusia
Ketika seseorang naik ke ketinggian, tubuhnya beradaptasi dengan meningkatkan produksi hemoglobin, protein dalam darah yang mengangkut oksigen. Namun, ada batasnya. Produksi hemoglobin berlebih dapat menyebabkan darah mengental, meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular. Ini yang kerap dialami oleh para pendaki gunung yang terkena altitude sickness atau mabuk ketinggian.
Baca juga: Laporan Baru PBB, Populasi Dunia Capai Puncak Pertengahan 2080-an
Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa penduduk Tibet memiliki mekanisme adaptasi yang berbeda. Mereka tidak hanya mampu bertahan di kondisi hipoksia. Tetapi, juga memiliki tingkat kesehatan dan keberhasilan reproduksi yang lebih tinggi dibandingkan kelompok lain yang tinggal di dataran tinggi.
Adaptasi Genetik dan Keunggulan Fisiologis
Studi yang dilakukan oleh antropolog Cynthia Beall dari Case Western Reserve University mengungkap bahwa wanita Tibet memiliki karakteristik peredaran darah yang unik. Timnya menganalisis 417 wanita yang telah hidup di ketinggian 3.500 meter sepanjang hidup mereka. Hasilnya mengejutkan: mereka yang memiliki tingkat kelahiran hidup tertinggi tidak memiliki kadar hemoglobin terlalu tinggi, melainkan justru dalam kisaran menengah.
Selain itu, wanita dengan tingkat kelahiran tertinggi juga menunjukkan saturasi oksigen hemoglobin lebih tinggi dan aliran darah ke paru-paru yang lebih efisien. Ini memungkinkan mereka tetap sehat tanpa meningkatkan viskositas darah, yang bisa membebani jantung. Dengan kata lain, tubuh mereka mampu mengangkut lebih banyak oksigen tanpa efek samping yang berbahaya.
Baca juga: Ketika Jepang Berjuang Melawan Tren Penurunan Kelahiran
Lebih lanjut, penelitian yang dipublikasikan di Proceedings of the National Academy of Sciences ini juga menemukan bahwa bilik kiri jantung mereka cenderung lebih besar. Sehingga memungkinkan pompa darah yang lebih efisien.
Semua ini menunjukkan bahwa adaptasi mereka bukan sekadar respons fisiologis jangka pendek, melainkan hasil seleksi alam yang telah berlangsung selama ribuan tahun.
Seleksi Alam yang Masih Terjadi
Adaptasi ini bukan hanya tentang bertahan hidup, tetapi juga tentang keberhasilan reproduksi. Wanita dengan fisiologi yang lebih cocok dengan lingkungan dataran tinggi cenderung memiliki lebih banyak anak yang bertahan hidup, sehingga sifat-sifat adaptif ini diwariskan ke generasi berikutnya.

Selain faktor biologis, aspek budaya juga berperan. Wanita yang menikah lebih lama dan memulai kehamilan di usia lebih muda memiliki lebih banyak anak. Namun, penelitian ini menegaskan bahwa perbedaan fisiologis tetap menjadi faktor utama yang menentukan keberhasilan mereka dalam menghadapi hipoksia.
Baca juga: Food Sustainability: Rahasia Masa Depan Sehat dan Berkelanjutan
Implikasi bagi Pemahaman Evolusi Manusia
Temuan ini menegaskan bahwa seleksi alam masih berlangsung hingga saat ini. Adaptasi manusia terhadap lingkungan ekstrem seperti di Tibet menunjukkan bahwa evolusi bukan hanya sejarah, tetapi proses yang terus berjalan.
Bagi para ilmuwan, pemahaman tentang bagaimana tubuh manusia beradaptasi dengan kondisi hipoksia dapat membuka wawasan baru dalam dunia medis. Ini bisa membantu mengembangkan terapi untuk pasien dengan gangguan pernapasan atau penyakit kardiovaskular.
Baca juga: Pola Makan Nabati, Solusi Strategis Mengatasi Perubahan Iklim
Studi ini juga memperlihatkan bahwa manusia bukan sekadar bertahan, tetapi terus berkembang dan menyesuaikan diri dengan tantangan alam. Adaptasi yang terjadi di Tibet bukan hanya soal bertahan hidup, tetapi juga strategi evolusi yang terus membentuk masa depan manusia. ***
Artikel ini hasil kolaborasi antara Mulamula.id dan SustainReview.id, untuk menghadirkan wawasan mendalam seputar isu keberlanjutan dan transformasi hijau.