
PADA Maret 2013, sebuah jet pribadi Falcon 50 hendak lepas landas dari Punta Cana, Republik Dominika, menuju Saint-Tropez, Prancis. Namun, pesawat itu tak pernah sampai ke tujuan. Polisi Dominika menggagalkan penerbangan setelah menemukan 26 koper berisi 700 kilogram kokain di dalam pesawat. Kasus ini segera dikenal dunia sebagai Air Cocaine.
Dua pilot asal Prancis, Pascal Fauret dan Bruno Odos, bersama dua penumpang lainnya langsung ditangkap. Mereka mengaku tidak tahu-menahu soal kokain yang mereka bawa. Di sinilah drama hukum lintas negara dimulai.
Kasus Air Cocaine bukan sekadar perkara penyelundupan narkoba, tetapi menjadi panggung besar pertarungan yuridiksi, hak asasi, hingga konspirasi internasional.
Persoalan Yuridiksi dan Penahanan
Republik Dominika menahan keempat orang tersebut dan mengajukan dakwaan penyelundupan narkotika. Di sisi lain, Prancis juga menunjukkan minat besar pada kasus ini karena dua warganya terlibat. Perebutan yurisdiksi terjadi. Dominika berpegang pada prinsip lokasi tindak pidana, sementara Prancis menuntut perlindungan bagi warganya yang mengklaim menjadi korban tipu daya.
Baca juga: Perampok Berkelit Jadi Pencuri: Pelajaran Hukum dari The Diamond Heist
Di balik pengadilan formal, muncul tekanan diplomatik. Pemerintah Prancis mengirim tim hukum, termasuk pengacara beken Eric Dupond-Moretti, yang kini menjadi Menteri Kehakiman Prancis. Tim pembela mempertanyakan prosedur pemeriksaan, transparansi penyidikan, serta kemungkinan adanya kartel lokal yang sengaja menjebak para pilot.
Drama Pelarian di Tengah Proses Hukum
Pada 2015, drama hukum ini berubah menjadi thriller internasional. Saat masih berstatus bebas bersyarat, Fauret dan Odos secara ilegal melarikan diri dari Dominika. Mereka menggunakan speedboat menuju Saint-Martin, lalu terbang ke Prancis.
Keberhasilan pelarian itu menimbulkan sorotan tajam. Banyak pihak menilai ada keterlibatan jaringan yang lebih besar di balik skenario pelarian ini.
Prancis menolak mengekstradisi keduanya ke Dominika. Sebaliknya, mereka diadili di pengadilan Prancis atas tuduhan yang sama. Proses hukum berlanjut hingga beberapa tahun, dengan berbagai fakta baru bermunculan.
Akhir yang Mengundang Banyak Tanya
Pada 2021, pengadilan banding Prancis membebaskan kedua pilot dari semua dakwaan karena dinilai kurang bukti atas keterlibatan langsung mereka dalam penyelundupan kokain. Keputusan ini menuai kontroversi. Apakah mereka benar-benar tidak tahu? Ataukah mereka bagian dari skema besar yang melibatkan kartel narkoba internasional, pejabat lokal, dan jaringan bisnis gelap?
Kasus Air Cocaine memperlihatkan betapa kompleksnya penegakan hukum dalam perkara lintas negara. Pertarungan antara kedaulatan negara, perlindungan hak warga negara, hingga potensi adanya korupsi dan manipulasi sistem hukum menjadi sorotan utama.
Di tengah pesatnya arus globalisasi, kasus ini menjadi pengingat bahwa kejahatan lintas batas tak hanya menuntut ketegasan hukum, tetapi juga kehati-hatian dalam membaca permainan geopolitik dan konspirasi ekonomi ilegal.
Netflix mengemas drama hukum ini dalam serial dokumenter berjudul Cocaine Air: Smugglers at 30,000 Ft, membuka kembali diskusi tentang keadilan, yurisdiksi, dan integritas sistem hukum internasional.
Pelajaran Penting untuk Indonesia
Kasus Air Cocaine memberi pelajaran penting terkait tantangan hukum lintas negara yang kerap juga dihadapi Indonesia. Dengan posisi sebagai negara transit narkotika, Indonesia kerap berurusan dengan jaringan penyelundupan internasional.
Kasus ini memperlihatkan betapa sulitnya menegakkan hukum ketika pelaku, korban, serta barang bukti melintasi banyak yurisdiksi dan kepentingan diplomatik.
Bahkan, dalam beberapa kasus di Indonesia, pelaku penyelundupan asing kerap memanfaatkan celah diplomatik untuk menghindari ekstradisi, seperti yang terjadi dalam beberapa kasus penyelundupan narkotika di jalur laut Asia Tenggara. ***
Dukung Jurnalisme Kami: https://saweria.co/PTMULAMULAMEDIA