
RAJA AMPAT, kawasan yang dikenal dengan keindahan alamnya dan keberagaman hayati yang luar biasa, kini dihadapkan pada dilema yang semakin mendalam terkait pertambangan nikel. Pada satu sisi, sektor pertambangan menawarkan potensi ekonomi yang besar, namun pada sisi lain, aktivitas ini menimbulkan ancaman besar terhadap ekosistem dan kelestarian alam yang menjadi daya tarik utama kawasan tersebut.
Kontradiksi Antara Kepentingan Ekonomi dan Konservasi
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa di Raja Ampat terdapat lima Izin Usaha Pertambangan (IUP), dengan satu di antaranya, PT GAG Nikel, telah beroperasi sejak 2018. Meskipun lokasi tambang nikel ini terletak sekitar 30-40 km dari destinasi pariwisata utama, Pulau Piaynemo, Bahlil menjelaskan bahwa wilayah tersebut memang memiliki banyak pulau yang menjadi kawasan konservasi, namun juga ada yang digunakan untuk kegiatan pertambangan.
Namun, di balik izin yang dikeluarkan oleh pemerintah, muncul kekhawatiran besar dari berbagai pihak, salah satunya adalah Walhi Papua. Walhi menyatakan bahwa tiga dari empat IUP nikel yang diberikan berlokasi di pulau-pulau kecil di kawasan Raja Ampat, yakni Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran.
Baca juga: Tambang atau Pariwisata? Masa Depan Raja Ampat Dipertaruhkan
Menurut Walhi, kegiatan pertambangan di pulau-pulau kecil ini berpotensi merusak lingkungan secara signifikan, mengancam ekosistem laut yang kaya akan keanekaragaman hayati, serta melanggar UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang jelas melarang eksploitasi pertambangan yang merusak ekosistem pesisir.
Dampak Lingkungan dan Kesehatan Warga
Salah satu dampak yang sudah dirasakan oleh masyarakat adalah kerusakan dasar laut di sekitar Pulau Gag, yang kini telah dibangun dermaga untuk bongkar muat material nikel. Warga setempat melaporkan bahwa mereka tidak lagi bisa menikmati laut yang dahulu kaya akan ikan, serta khawatir akan penyakit kulit akibat terpapar polusi dari kegiatan tambang. Selain itu, debu material nikel yang beterbangan saat musim angin kencang menyebabkan gangguan pernapasan pada warga, yang sering kali terserang batuk.
Baca juga: Perubahan Iklim Lenyapkan Es Abadi Papua, Indonesia Terancam
Tidak hanya itu, kondisi ini semakin diperburuk dengan ancaman kerusakan terumbu karang yang menjadi habitat penting bagi lebih dari 1.600 spesies ikan dan 75 persen spesies karang yang ada di Raja Ampat. Walhi menegaskan bahwa jika ekosistem laut di Raja Ampat terganggu, maka sektor pariwisata yang menjadi tumpuan ekonomi lokal akan terancam.

Tantangan bagi Pemerintah Daerah
Pemerintah Kabupaten Raja Ampat pun mengakui adanya keterbatasan dalam mengintervensi aktivitas pertambangan. Bupati Raja Ampat, Orideko Burdam, menegaskan bahwa meski 97 persen wilayah Raja Ampat merupakan kawasan konservasi, mereka tidak memiliki kewenangan penuh untuk menghentikan izin yang telah dikeluarkan oleh pemerintah pusat.
Hal ini menambah kesulitan bagi pemerintah daerah dalam mengelola keseimbangan antara pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian alam.
Baca juga: Geopark Indonesia, Warisan Alam yang Terjebak Kepentingan
Sebagai respons terhadap keresahan masyarakat, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Raja Ampat telah melakukan investigasi di beberapa wilayah, termasuk Pulau Mayifun dan Batang Pele. Investigasi ini bertujuan untuk menggali aspirasi masyarakat dan mengidentifikasi dampak nyata yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan terhadap lingkungan dan kehidupan mereka.
Ketua DPRK Raja Ampat, Mohammad Taufik Sarasa, menegaskan bahwa mereka akan berupaya memastikan bahwa pertambangan dilakukan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan, dengan tetap memperhatikan aspek lingkungan dan sosial.
Jaga Keberlanjutan Alam dan Ekonomi
Raja Ampat menghadapi tantangan besar dalam menjaga keseimbangan antara keberlanjutan ekonomi dan kelestarian alam. Sementara pertambangan nikel menawarkan potensi pendapatan yang signifikan, dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat tidak dapat diabaikan begitu saja. Untuk itu, dibutuhkan kebijakan yang lebih ketat dalam pengelolaan sumber daya alam, terutama di kawasan konservasi seperti Raja Ampat.
Baca juga: Geopark Indonesia Mendunia, 12 Kawasan Masuk Daftar UNESCO
Penting bagi pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat untuk bekerja sama dalam menemukan solusi yang dapat menjaga keberlanjutan alam, sekaligus memberikan manfaat ekonomi yang adil bagi masyarakat. Dengan pendekatan yang hati-hati dan berkelanjutan, diharapkan Raja Ampat dapat tetap menjadi surga wisata dunia yang menginspirasi banyak orang, sekaligus menjaga kelestarian alam dan budaya yang kaya di wilayah ini. ***
Artikel ini hasil kolaborasi antara Mulamula.id dan SustainReview.id, untuk menghadirkan wawasan mendalam seputar isu keberlanjutan dan transformasi hijau.