Arsitektur Vernacular Indonesia, Warisan Lokal untuk Iklim Tropis

Rumah Joglo Jawa sebagai salah satu arsitektur vernacular Indonesia, mencerminkan harmoni antara budaya, iklim tropis, dan kearifan lokal dalam tata ruang hunian. Foto: Ist.

DI TENGAH maraknya tren bangunan modern, arsitektur vernacular Indonesia menyimpan pelajaran penting. Rumah adat dari berbagai daerah di Nusantara dibangun dengan prinsip yang sangat relevan untuk masa kini: ramah iklim, hemat energi, dan berbasis material lokal. Bukan sekadar tradisi, melainkan solusi berkelanjutan yang lahir dari kearifan.

Rumah panggung di Sumatra, joglo di Jawa, sampai rumah panjang di Kalimantan, semuanya dirancang untuk menghadapi tantangan iklim tropis—panas, lembap, dan hujan yang tinggi. Bentuk, bahan, hingga tata ruangnya menunjukkan pemahaman mendalam masyarakat lokal terhadap alam.

Desain yang Menyatu dengan Alam

Menurut Guru Besar Arsitektur UI, Yandi Andri Yatmo, arsitektur vernacular menawarkan pendekatan yang adaptif dan kontekstual. “Bangunan tradisional merespons iklim, budaya, dan sumber daya lokal. Ini nilai penting yang bisa kita adopsi dalam desain modern,” ungkapnya dalam webinar Arsitektur Tropis 2023.

Ciri khas bangunan vernacular tropis antara lain:

  • Ventilasi silang alami: membuka ruang bagi angin untuk mengalir bebas.
  • Elevasi lantai: rumah panggung menghindari banjir, meningkatkan sirkulasi udara.
  • Atap tinggi dan curam: mengurangi panas, mempercepat aliran air hujan.
  • Material lokal: kayu, bambu, ijuk, dan rumbia yang mudah didapat dan ramah lingkungan.

Prinsip-prinsip ini selaras dengan desain pasif yang kini banyak diterapkan dalam arsitektur hijau.

Solusi Zaman Dulu, Jawaban Masa Kini

Banyak bangunan tradisional menggunakan material seperti kayu dan bambu yang tidak hanya terbarukan, tapi juga memiliki jejak karbon rendah. Sebuah studi dari Journal of Cleaner Production (2020) mencatat bahwa penggunaan material alami dapat menurunkan emisi karbon bangunan hingga 40% dibanding beton dan baja.

Baca juga: Fusuma, Rahasia Pintu Geser Jepang yang Unik dan Berkelanjutan

Arsitektur lokal juga punya nilai ekonomi. Pemanfaatan material sekitar mendukung ekonomi sirkular dan pemberdayaan masyarakat. Tidak ada ongkos transportasi jarak jauh, tidak ada limbah konstruksi berlebihan. Semua bagian rumah bisa dirakit, dibongkar, bahkan didaur ulang.

Modernisasi dan Tantangannya

Sayangnya, arsitektur vernacular kerap dipandang ketinggalan zaman. Gaya hidup urban dan tekanan pembangunan membuat bentuk-bentuk rumah adat mulai ditinggalkan. Namun kini, tren mulai berubah.

“Arsitek muda mulai melirik kembali desain vernacular. Mereka mencari nilai, bukan hanya bentuk,” ujar Eko Prawoto, arsitek senior yang dikenal mengusung pendekatan kontekstual dalam proyek-proyeknya di Yogyakarta.

Beberapa proyek baru menggabungkan teknologi modern dengan prinsip arsitektur lokal. Misalnya, pengembangan rumah tahan gempa di Nias dan Sumba yang tetap mempertahankan elemen panggung dan material kayu, namun diperkuat dengan teknik struktur baru.

Menuju Masa Depan yang Berakar

Saat isu keberlanjutan makin mendesak, arsitektur vernacular Indonesia menyodorkan inspirasi konkret. Ini bukan romantisme masa lalu, tapi realitas yang bisa dijadikan strategi masa depan. Pemerintah, akademisi, dan praktisi perlu lebih aktif mendokumentasikan, memodernisasi, dan mengintegrasikan prinsip arsitektur lokal ke dalam kebijakan pembangunan dan pendidikan arsitektur.

Baca juga: Saat Kayu Jadi Masa Depan Arsitektur Ramah Lingkungan

Mengutip UNESCO, pelestarian warisan budaya tak hanya soal bentuk, tetapi juga nilai-nilai dan pengetahuan lokal yang terkandung di dalamnya. Dan arsitektur tradisional Indonesia adalah salah satu harta karun yang belum habis digali potensinya. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *