
PULAU Bali kembali berada di sorotan. Kali ini bukan karena pesona budayanya, melainkan karena tumpukan persoalan yang menyertai lonjakan kunjungan wisatawan mancanegara pascapandemi. Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengingatkan, jika tidak segera ditangani, masalah-masalah ini bisa menjadi ancaman serius bagi masa depan pariwisata dan perekonomian Bali.
Isu yang diangkat Luhut bukan hal kecil. Overtourism, kemacetan, sampah, hingga maraknya pelanggaran izin tinggal dan penyalahgunaan visa oleh warga negara asing (WNA) menjadi titik lemah Bali saat ini. Lebih jauh, ia juga menyinggung praktik perusahaan asing yang mengantongi izin usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), padahal hampir 40 persen tidak memenuhi persyaratan.
“Jika dibiarkan, Bali akan menghadapi dampak besar. Karena itu, bersama Bank Dunia, kami sedang menyiapkan studi komprehensif untuk merancang pariwisata yang lebih berkualitas dan berkelanjutan,” ujar Luhut.
Kritik atas Kebijakan Lama
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai persoalan ini tidak muncul tiba-tiba. Akar masalah, kata dia, justru datang dari kebijakan pemerintah yang terlalu longgar membuka pintu pariwisata.
Baca juga: Bye-bye Sachet, Bali Gaspol Lawan Plastik Sekali Pakai Mulai 2026
“Sejak era bebas visa, Bali kebanjiran turis dengan daya beli rendah. Kualitas pariwisata tidak terdongkrak, sementara dampak negatifnya semakin terasa,” ujarnya kepada wartawan.

Bhima juga menyoroti lemahnya pengawasan. Banyak bangunan liar berdiri di atas lahan produktif. Transportasi publik tak kunjung memadai, padahal arus wisatawan terus melonjak. Hasilnya, kemacetan menjadi pemandangan harian.
Ia menawarkan beberapa solusi. Penegakan hukum atas pelanggaran izin tinggal WNA harus diperketat. Kebijakan bebas visa perlu ditinjau ulang. Pemerintah juga harus membatasi izin bangunan liar serta mempercepat pembangunan transportasi publik massal, bahkan menyarankan moda MRT di Denpasar dan jalur penghubung menuju Bali Utara.
Baca juga: Saat Bali Berhenti, Keheningan Nyepi dan Harmoni dengan Alam
Menurut Bhima, enam bulan ke depan menjadi masa kritis. Tanpa langkah konkret, citra Bali bisa merosot, bahkan kehilangan momentum untuk bersaing dengan destinasi Asia Tenggara lain.
Jangan Batasi, tapi Benahi
Di sisi lain, analis senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita, menekankan pentingnya keseimbangan. Ia mengingatkan, pariwisata Bali menyumbang setengah dari total kunjungan WNA ke Indonesia. Jika kunjungan dibatasi, devisa negara bisa tergerus.
Baca juga: Pariwisata Berkelanjutan, Tonggak Sejarah Baru di COP29
“Ekses negatif harus diatasi, bukan dengan membatasi kunjungan. Yang perlu dibenahi adalah tata kelola sampah, aturan bangunan, dan perencanaan destinasi,” kata Ronny mengutip CNN Indonesia.

Ia mengusulkan pembedaan tegas antara wisata massal dan wisata minat khusus. Pantai-pantai populer wajar menerima ribuan turis setiap hari. Namun, destinasi khusus seperti kawasan konservasi budaya dan alam seharusnya dibatasi untuk menjaga ekosistem dan keberlanjutan.
Baca juga: Krisis Iklim Geser Arus Wisata Turki, Laut Hitam Primadona Baru
Titik Balik Bali
Diskursus tentang masa depan pariwisata Bali kini memasuki fase krusial. Di satu sisi, pemerintah ingin menjaga arus devisa. Di sisi lain, tekanan terhadap lingkungan, sosial, dan tata ruang semakin menguat.
Bali butuh arah baru. Bukan sekadar mengandalkan jumlah kunjungan, tetapi membangun kualitas pengalaman wisata yang berkelanjutan. Jika tidak, pulau yang selama ini dijuluki The Island of Gods bisa berubah menjadi simbol kegagalan tata kelola pariwisata Indonesia. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.