
PULAU Sumatra kembali menghadapi bencana besar. Sejak 24 November 2025, banjir bandang dan longsor melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Ribuan rumah hancur, jembatan runtuh, dan akses transportasi putus berhari-hari. Skala kerusakannya membuat banyak pihak bertanya, mengapa dampaknya sebesar ini?
Data BNPB hingga Minggu (30/11/2025), pukul 18.00 WIB, mencatat 469 meninggal, 474 hilang, 647 terluka, dan lebih dari 1,7 juta jiwa terdampak. Sekitar 480 ribu orang harus mengungsi, dengan 214 jembatan rusak, serta puluhan ribu rumah dalam kondisi rusak berat hingga ringan. Total ada 48 kabupaten yang terkena dampak langsung.
Di lapangan, banjir bukan hanya tinggi, tetapi juga cepat, membawa batang pohon, lumpur, dan material longsor. Fenomena ini dikenal sebagai banjir bandang, salah satu bentuk bencana hidrometeorologi paling mematikan. Namun para ahli menegaskan, persoalannya bukan hanya cuaca ekstrem.
Hujan Ekstrem Memicu, Kerusakan Hulu Memperparah
Pada puncak kejadian, beberapa wilayah Sumatera Utara menerima lebih dari 300 milimeter hujan per hari, menurut BMKG, angka yang setara hujan sebulan di beberapa kota pesisir. Kondisi atmosfer diperkuat oleh kehadiran Siklon Tropis Senyar yang terbentuk di Selat Malaka.
Baca juga: Banjir Aceh: 96 Warga Meninggal, 441 Ribu Jiwa Terdampak
Tetapi menurut Peneliti Hidrologi Hutan UGM, Dr. Hatma Suryatmojo, hujan ekstrem hanyalah pemicu. Dalam rilis resmi UGM (1/12/2025), ia menegaskan bahwa kerusakan hutan di hulu DAS adalah faktor yang menentukan seberapa besar bencana berkembang.
“Hulu yang rusak tidak mampu lagi meredam hujan. Tanah kehilangan porositas, infiltrasi turun drastis, dan limpasan mengalir langsung ke hilir. Begitu ada hujan ekstrem, kapasitas DAS kolaps,” ujar Hatma.
Deforestasi Menggeser Fungsi Alami Sungai
Sumatra mengalami deforestasi panjang.
- Aceh kehilangan lebih dari 700 ribu hektar hutan sepanjang 1990–2020.
- Sumatera Utara kini hanya menyisakan 29 persen tutupan hutan, termasuk banyak bagian yang terdegradasi.
- Sumatera Barat masih memiliki sekitar 54 persen hutan, tetapi laju deforestasinya termasuk yang tertinggi di Indonesia.

Hilangnya tutupan hutan membuat proses hidrologis terganggu. Dulu, hutan mampu menahan 15–35% air hujan di tajuk pohon, menyerap hingga 55% ke dalam tanah, dan mengembalikan sebagian melalui evapotranspirasi. Tanpa itu, limpasan permukaan naik hingga beberapa kali lipat.
Baca juga: Aceh Terputus di Kutablang, Ribuan Harapan Menunggu…
Ketika hulu tidak lagi stabil, hujan ekstrem memicu longsor besar-besaran. Material longsor ini jatuh ke sungai dan membentuk bendungan alami. Ketika bendungan itu jebol, banjir bandang terbentuk dalam hitungan menit.
Inilah pola yang terlihat di banyak titik di Sumatra minggu lalu. Banjir tiba-tiba, membawa kayu dan bebatuan dalam jumlah besar, serta menghantam permukiman di hilir.
Sinyal Keras untuk Tata Kelola Lingkungan
Banjir Sumatra 2025 memperlihatkan satu hal, manajemen DAS kita rapuh. Kerusakan hulu, pembukaan lahan tanpa kendali, sedimentasi sungai, dan lemahnya penegakan hukum membuat daerah hilir kehilangan pelindung alami.
Cuaca ekstrem akibat perubahan iklim hanya memperbesar risiko dalam sistem yang sudah lemah.
Baca juga: Aceh Lumpuh: 21 Jembatan Putus, 8 Ruas Jalan Rusak Dihantam Banjir
Untuk mengurangi risiko bencana serupa, para ahli mendorong langkah yang lebih serius. Pemulihan hulu DAS, penataan ruang berbasis risiko, dan pengawasan ketat terhadap deforestasi dan alih fungsi lahan.
Tanpa perubahan sistemik, bencana hidrometeorologi seperti ini hanya menunggu waktu untuk terulang, dan dampaknya bisa lebih besar dari yang kita saksikan hari ini. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.