Bumi Sedang Tak Baik-baik Saja, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Mereka yang akan mewarisi bumi ini. Apa yang kita lakukan hari ini menentukan masa depan mereka. Foto: Skigh_tv/ Pexels.

HARI BUMI 2025 kembali hadir dengan pesan kuat: saatnya beralih ke energi terbarukan demi masa depan yang berkelanjutan. Tema global tahun ini, “Our Power, Our Planet” atau “Kekuatan Kita, Planet Kita”, mengajak dunia merefleksikan peran individu dan kolektif dalam menghadapi krisis iklim yang semakin mendesak.

Isu perubahan iklim bukan hal baru. Namun, urgensinya tak pernah sebesar ini. Cuaca ekstrem, kenaikan suhu global, hingga ancaman krisis pangan dan air, menunjukkan satu hal: bumi sedang tak baik-baik saja.

Energi Fosil, Sumber Masalah yang Terus Digali

Di balik krisis iklim, energi fosil masih jadi biang utama. Batubara, minyak bumi, dan gas alam terus menyumbang emisi gas rumah kaca dalam skala besar. Menurut laporan International Energy Agency (IEA), sektor energi menyumbang lebih dari 70 persen emisi global.

Baca juga: Sepertiga Bumi Bisa Tak Layak Huni, Dunia di Ambang Krisis

Di Indonesia, sekitar 60 persen pembangkit listrik masih bertumpu pada batubara. Transisi ke energi bersih masih jalan di tempat, meski target Net Zero Emission 2060 sudah dicanangkan. Realitasnya, proyek PLTU baru masih berjalan, sementara pembangkit energi baru terbarukan (EBT) tumbuh terlalu lambat.

Regulasi Belum Berpihak, Dana Terbatas

Energi surya, bayu (angin), panas bumi, dan air—semuanya ada di negeri ini. Tapi, pemanfaatannya masih minim. Hambatan utama datang dari regulasi yang belum berpihak, pendanaan yang terbatas, dan birokrasi berbelit.

Baca juga: Krisis Iklim, Bagaimana Dunia Berubah dalam 2 Derajat?

Meski begitu, gelombang optimisme terus muncul. Gerakan energi bersih mulai tumbuh di berbagai daerah. Komunitas lokal mengembangkan panel surya mandiri, koperasi energi mulai terbentuk, dan startup teknologi mulai melirik peluang di sektor ini.

Jejak karbon yang terus bertambah setiap hari. Energi fosil masih mendominasi, sementara bumi terus menanggung akibatnya. Foto: Ilustrasi/ Pixabay/ Pexels.

Praktisi keberlanjutan melihat momentum Hari Bumi sebagai panggilan untuk memperkuat kolaborasi. Bukan hanya soal teknologi, tapi juga keadilan iklim—bagaimana masyarakat akar rumput bisa mendapat akses, manfaat, dan perlindungan dari dampak perubahan iklim.

Dari Kesadaran ke Aksi Kolektif

“Kekuatan kita” tak hanya soal tenaga atau teknologi, tapi juga kemauan untuk berubah. Konsumsi energi bisa ditekan lewat efisiensi. Pilihan gaya hidup bisa diarahkan ke yang lebih hijau: naik sepeda, hemat listrik, hingga mendukung produk lokal dan ramah lingkungan.

Baca juga: Krisis Iklim, 2024 Tahun Terpanas Sepanjang Sejarah

Di sisi lain, tekanan publik juga penting. Regulasi tak akan bergerak tanpa suara kolektif. Dunia usaha pun akan berubah jika konsumen menuntut transparansi dan keberlanjutan.

Hari Bumi 2025 yang jatuh hari ini, 22 April, mengingatkan kita: waktu makin sempit. Tapi, belum terlambat. Perubahan besar lahir dari langkah kecil yang terus menerus.

Saatnya memaknai ulang hubungan kita dengan bumi. Bukan sebagai pemilik, tapi penjaga. Karena planet ini bukan warisan, melainkan titipan untuk generasi berikutnya. ***

Artikel ini hasil kolaborasi antara Mulamula.id dan SustainReview.id, untuk menghadirkan wawasan mendalam seputar isu keberlanjutan dan transformasi hijau.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *