
KETIKA Pilpres AS 2024 mempertemukan dua kandidat kuat, Donald Trump dan Kamala Harris, banyak yang memperkirakan celebrity endorsement akan memberi Harris keunggulan signifikan.
Namun, kenyataan berkata lain. Meski dukungan dari selebriti berlimpah untuk Kamala, Trump berhasil memenangkan suara publik dengan dukungan yang lebih strategis: algoritma media sosial di bawah kepemimpinan Elon Musk di platform X (sebelumnya Twitter).
Lalu, apa yang membuat algoritma lebih kuat daripada celebrity endorsement? Bagaimana teknologi mampu mengalahkan kekuatan popularitas selebriti dalam politik modern? Mari kita telusuri beberapa aspek menarik yang membentuk hasil ini.
1. Celebrity Endorsement Mulai Kehilangan Efektivitasnya
Dukungan dari figur publik masih dianggap penting dalam kampanye politik. Namun, efek dari celebrity endorsement tampaknya semakin menurun. Di era informasi yang makin cepat, pemilih muda justru sering kali skeptis terhadap endorsement dari selebriti.
Popularitas saja tak selalu berhasil menggerakkan pemilih menuju TPS, apalagi jika narasi yang diangkat terlalu berlebihan.
Celebrity endorsement lebih efektif membentuk opini publik ketimbang memotivasi pemilih. Namun, saat berhadapan dengan isu kebijakan atau kepentingan domestik, pemilih tampaknya lebih memilih kandidat yang memiliki rekam jejak dan pandangan kebijakan jelas daripada popularitas.
2. Kekuatan Algoritma Media Sosial di Tangan Elon Musk
Di bawah Elon Musk, algoritma platform X menjadi alat yang sangat efektif dalam meningkatkan visibilitas konten tertentu. Musk telah mendukung kebebasan berbicara secara terbuka, memberi ruang bagi Trump untuk menyampaikan pesan-pesan yang provokatif.
Algoritma X tampaknya dioptimalkan untuk memberi prioritas pada narasi Trump, membuat konten pro-Trump lebih sering tampil di linimasa pengguna.
Baca juga: Trump di Ambang Kembali ke Gedung Putih, Apa Artinya bagi Dunia?
Algoritma media sosial bisa memperkuat “echo chambers” atau ruang gema digital, di mana pengguna hanya terpapar pada konten yang sejalan dengan keyakinan mereka. Untuk pendukung Trump, algoritma ini bekerja efektif, menempatkan mereka dalam lingkungan di mana pesan-pesan pro-Trump mendominasi.
Basis pemilih ini kemudian termobilisasi lebih kuat. Sementara pendukung Kamala mungkin tidak memiliki akses sekuat itu pada pesan-pesan yang mendorong pemilih mengambang untuk beralih.
3. Audience Segmentation yang Efektif
Dengan algoritma yang bisa menyaring konten, kampanye Trump berhasil menargetkan kelompok pemilih dengan segmentasi yang lebih terarah. Kelompok konservatif dapat terus-menerus terpapar pesan-pesan pro-Trump yang diperkuat oleh algoritma, menciptakan ikatan yang lebih kuat antara kandidat dan pendukungnya.
Sebaliknya, celebrity endorsement yang diterima Kamala Harris tidak memberi daya dorong yang sama. Pendukung selebriti mungkin hanya “like” atau “share” sekali, tetapi tanpa ikatan personal yang kuat, efeknya bisa cepat memudar. Ini menjadi pembeda penting dalam cara kedua kandidat menjangkau pemilih mereka.
4. Perubahan Pola Konsumsi Informasi di Kalangan Muda
Pola konsumsi informasi di kalangan pemilih muda juga menjadi faktor penting. Generasi ini lebih kritis terhadap pesan yang disampaikan oleh selebriti dan influencer. Mereka menginginkan informasi yang transparan dan cenderung skeptis terhadap endorsement yang terlihat terlalu “dibayar.”
Algoritma justru memungkinkan pemilih mengakses informasi dari sumber yang sejalan dengan pandangan politik mereka tanpa harus bersandar pada pendapat selebriti. Bagi sebagian besar pemilih muda, akses langsung ke ideologi atau pemikiran kandidat lebih penting dibandingkan opini para figur publik.
5. Pengaruh Elon Musk sebagai Tokoh Teknologi
Elon Musk sendiri memiliki pengaruh besar di platform X dan di kalangan penggemar setianya. Musk yang mendukung kebebasan berekspresi menciptakan ruang yang lebih luas bagi Trump untuk berbicara langsung kepada publik dalam rangkaian Pilpres AS 2024, tanpa batasan ketat.
Dengan algoritma yang dapat diprogram ulang sesuai kebijakan, platform ini tampak lebih responsif terhadap pesan politik yang provokatif dan menimbulkan reaksi kuat.
Sebagai pemilik platform, Musk tidak hanya memiliki pengaruh langsung pada konten, tetapi juga menjadi sosok yang mendukung kebebasan berbicara tanpa filter. Sikap ini menciptakan ruang bagi Trump untuk mengkritik lawannya dan menguatkan posisinya di mata pendukung.
6. Akankah Algoritma Mendominasi Masa Depan Kampanye Politik?
Kemenangan Trump di Pilpres AS 2024 menggambarkan dinamika baru dalam kampanye politik. Teknologi dan algoritma media sosial kini memiliki kekuatan besar dalam membentuk persepsi publik. Celebrity endorsement mungkin masih memiliki peran dalam membangun citra, tetapi algoritma yang kuat mampu menjangkau dan menggerakkan pemilih secara lebih efektif.
Ke depan, kita mungkin akan melihat lebih banyak kandidat politik memanfaatkan algoritma dan teknologi untuk memperkuat strategi kampanye mereka. Sementara itu, celebrity endorsement mungkin perlu direformulasi untuk bisa bersaing dengan kekuatan algoritma dalam membentuk persepsi publik. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.