
PARA CEO di Indonesia mulai mengubah cara main mereka. Keberlanjutan, yang dulu cuma numpang lewat di presentasi perusahaan, kini benar-benar naik pangkat menjadi strategi inti bisnis. Temuan ini muncul dari survei Schneider Electric Green Impact Gap 2025 yang memotret bagaimana perusahaan-perusahaan besar kini merespons tuntutan pasar, krisis energi, hingga tekanan konsumen yang makin kritis.
Survei itu mencatat 32 persen CEO mengatakan perusahaan mereka sudah menjalankan agenda keberlanjutan secara sistematis. Tahun 2023, angkanya baru 23 persen. Lonjakannya tajam. Artinya satu, semakin banyak perusahaan sadar bahwa keberlanjutan bukan tren sementara, tapi penentu arah bisnis.
Reputasi, Efisiensi, dan Peluang Baru
CEO yang terlibat dalam survei juga mengungkap alasan mereka makin serius menerapkan ESG. Sebagian besar melihat keberlanjutan sebagai modal reputasi. Sebanyak 43 persen menyebut ESG bikin citra perusahaan jauh lebih positif di mata publik. Lalu ada faktor efisiensi biaya. 49 Persen menilai strategi hijau membantu perusahaan menghemat operasional.
Baca juga: Investasi Hijau Indonesia Tembus Rp 305 Triliun
Yang menarik, 51 persen CEO percaya keberlanjutan bisa membuka peluang bisnis baru. Bukan cuma soal citra, tapi benar-benar jadi sumber cuan masa depan. Ini tanda bahwa dunia usaha mulai melihat ESG bukan sebagai “beban tambahan”, tetapi sebagai jalan baru buat bertahan di pasar yang makin kompetitif.
AI Jadi Andalan Baru Korporasi
Satu hal lagi yang menonjol dari survei ini, AI makin banyak dipakai untuk mendukung agenda keberlanjutan. Sekitar 37 persen perusahaan kini memanfaatkan kecerdasan buatan untuk mengoptimalkan penggunaan energi, menganalisis konsumsi, hingga otomatisasi pelaporan data.
Lonjakan ini wajar. Hampir separuh perusahaan menyebut fluktuasi harga energi sebagai risiko terbesar. Dengan AI, perusahaan bisa memprediksi kebutuhan mereka dan menekan biaya. Digitalisasi dan efisiensi energi jadi dua elemen yang berjalan berdampingan.

Green IT Semakin Dilirik
Selain AI, green IT juga mencuat. Setidaknya 37 persen perusahaan sudah menerapkan kebijakan teknologi hijau untuk mengurangi jejak karbon dari pusat data dan proses komputasi.
Baca juga: Klaim ESG Tanpa Bukti Bisa Berujung Denda Jutaan Dolar
Di saat permintaan daya komputasi terus naik, perusahaan dituntut menemukan cara baru untuk tetap efisien. Sebanyak 65 persen CEO bilang investasi teknologi adalah kebutuhan mendesak, bukan lagi wacana.
Target Sudah Ada, Aksinya Belum Maksimal
Walaupun hampir 97 persen perusahaan sudah punya target keberlanjutan, kenyataannya kurang dari setengah yang benar-benar menjalankan langkah konkret. Inilah yang disebut Schneider sebagai Green Impact Gap, jurang antara janji dan aksi.
Baca juga: Desa Thailand Naik Kelas, ESG Tourism Bikin Pendapatan Melejit
Meski begitu, optimisme tetap tinggi. Sebanyak 89 persen perusahaan yakin bisa mencapai target iklim 2030. Pertanyaannya tinggal, siapa yang benar-benar bergerak, dan siapa yang cuma ikut arus?
Survei ini melibatkan 4.500 pemimpin bisnis di sembilan negara Asia. Hasilnya menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan Indonesia sedang masuk fase baru. Fase ketika keberlanjutan tidak lagi sekadar slogan pemasaran, melainkan strategi untuk bertahan, tumbuh, dan memenangkan persaingan bisnis yang makin ketat. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.