COP29: Janji Iklim, Ketimpangan, dan Masa Depan Transisi Hijau

Para pemimpin dunia berfoto bersama usai penutupan COP29 di Baku, Azerbaijan. Momen ini menjadi simbol harapan untuk kerja sama global dalam menghadapi krisis iklim meski tantangan masih membayangi. Foto: COP29 Azerbaijan.

KONFERENSI Perubahan Iklim COP29 di Baku, Azerbaijan, berakhir pada Minggu (25/11/2024) dini hari dengan agenda yang penuh ketegangan dan perpanjangan waktu. Meski menghasilkan beberapa keputusan penting, pertemuan ini sekali lagi mengungkap jurang besar antara janji ambisius dan realita di lapangan.

Komitmen pendanaan, dominasi bahan bakar fosil, hingga terpilihnya kembali Donald Trump menjadi sorotan utama yang memengaruhi arah diplomasi iklim global.

Bagi para pemerhati keberlanjutan di Indonesia, refleksi dari COP29 ini membawa tantangan sekaligus pelajaran penting untuk memastikan transisi hijau berjalan seiring dengan kebutuhan nasional. Berikut ulasan lengkapnya.

1. Komitmen Pendanaan: Sekadar Angka atau Solusi Nyata?

Janji pendanaan 300 miliar dolar AS per tahun mulai 2035 dari negara-negara kaya menjadi sorotan utama. Negara-negara berkembang menyatakan angka ini jauh dari cukup untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Tenggat waktu satu dekade dianggap memperlambat transisi menuju energi bersih yang jadi kebutuhan saat ini.

Baca juga: COP29 Memanas, Pendanaan Iklim di Ujung Tanduk

Negosiasi ini juga mencerminkan ketimpangan tanggung jawab antara negara maju, yang selama ini menjadi penyumbang emisi terbesar, dan negara berkembang yang terkena dampak paling parah. Kesenjangan ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah keadilan iklim benar-benar menjadi prioritas?

2. Terpilihnya Donald Trump: Bayangan Suram di Tengah Perundingan

Terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden AS menjadi pukulan besar bagi COP29. Trump, yang terkenal sebagai skeptis perubahan iklim, telah menunjuk Menteri Energi yang menyangkal krisis ini. Sebagai pencemar terbesar dunia, minimnya partisipasi AS membuat banyak negara pesimis terhadap kontribusi pendanaan dan langkah ambisius.

Baca juga: Ketimpangan Dana Iklim vs. Proyek Perusak di COP29

Efek domino politik ini menciptakan dinamika baru yang dapat memengaruhi negosiasi iklim global di masa depan, termasuk munculnya kebijakan yang justru menghambat transisi hijau.

3. Kredit Karbon: Langkah Maju yang Perlu Pengawasan

Untuk pertama kalinya, COP29 menetapkan kerangka kerja untuk kredit karbon. Skema ini memungkinkan negara-negara memperdagangkan emisi karbon mereka sebagai cara untuk mendanai proyek iklim. Namun, tanpa transparansi dan akuntabilitas yang kuat, inisiatif ini berpotensi dimanfaatkan sebagai “izin” bagi negara maju untuk terus mencemari.

Para pendukung berharap sistem ini dapat menarik miliaran dolar ke proyek hijau, tetapi skeptisisme tetap tinggi, terutama dari negara-negara berkembang yang menginginkan pendekatan langsung dan adil.

4. Krisis Perubahan Iklim yang tak Terbendung

Di tengah janji-janji besar, kenyataan justru semakin memprihatinkan. Emisi gas rumah kaca dan suhu global terus meningkat. Tahun 2024 perkiraaannya menjadi tahun terpanas dalam sejarah, memperlihatkan bahwa tindakan saat ini belum cukup cepat untuk mencegah bencana iklim.

Baca juga: Perubahan Iklim Hancurkan Tradisi Salju 130 Tahun di Gunung Fuji

Negara-negara seperti Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan mitigasi iklim. Jika tindakan nyata tidak segera diambil, risiko sosial dan ekonomi akan semakin besar.

Para delegasi menghadiri sesi penutupan COP29 di Baku, Azerbaijan, yang diwarnai perdebatan sengit terkait pendanaan iklim dan transisi energi bersih. Foto: COP29 Azerbaijan.
5. Ketimpangan Perdagangan dan Hambatan Transisi Hijau

Negara berkembang mendesak agar hambatan perdagangan yang menghalangi transisi hijau dibahas lebih serius. Pajak perbatasan karbon Uni Eropa dan kemungkinan kebijakan tarif impor luas dari Trump menjadi ancaman nyata bagi ekonomi negara berkembang.

Baca juga: Era Minyak Berakhir, Era Listrik Bersih Dimulai

Persoalan ini diangkat dalam COP29, tetapi belum ada solusi konkret yang dihasilkan. Padahal, kebijakan perdagangan yang adil sangat penting untuk mendukung transformasi ekonomi hijau global.

6. Kepentingan Bahan Bakar Fosil yang Mendominasi

COP29 adalah konferensi ketiga berturut-turut yang berlangsung di negara penghasil bahan bakar fosil. Tidak heran jika hasilnya dianggap kurang progresif dalam mengurangi ketergantungan pada energi fosil.

Baca juga: Negara-negara Penjaga Oksigen Bumi

Meski ada janji melipatgandakan kapasitas energi terbarukan, langkah-langkah rinci untuk mencapainya belum juga jadi kesepakatan. Kepentingan industri bahan bakar fosil masih terlalu kuat dalam memengaruhi perundingan.

Refleksi dan Tantangan ke Depan

COP29 memberikan gambaran yang jelas: dunia masih jauh dari kata sepakat dalam menghadapi krisis iklim. Ketimpangan tanggung jawab, pengaruh politik, dan dominasi bahan bakar fosil menjadi tantangan besar.

Bagi Indonesia, hasil COP29 ini menjadi pengingat akan pentingnya diplomasi iklim yang kuat dan langkah nyata untuk memastikan transisi hijau berjalan seimbang dengan kebutuhan nasional. Sebuah perjalanan panjang, tetapi tidak mustahil jika semua pihak benar-benar berkomitmen. ***

Artikel ini hasil kolaborasi antara Mulamula.id dan SustainReview.id, untuk menghadirkan wawasan mendalam seputar isu keberlanjutan dan transformasi hijau.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *