
KONFERENSI Perubahan Iklim PBB atau COP30 resmi dibuka di Belém, Brasil, hari ini. Selama dua minggu, mata dunia tertuju ke Amazon, hutan tropis terbesar di bumi yang kini menjadi panggung bagi harapan dan ujian baru dalam melawan krisis iklim.
Amazon, Panggung Dunia yang Penuh Simbol
COP30 bukan sekadar pertemuan global tahunan. Tahun ini, dunia datang ke jantung Amazon, kawasan yang menyimpan 10 persen spesies planet dan menyerap miliaran ton karbon. Tapi di balik keindahannya, Amazon juga menyimpan luka. Deforestasi, kebakaran hutan, dan tekanan ekonomi yang membuat konservasi jadi kompromi.
Baca juga: Anak Berambut Api dari Amazon Jadi Maskot COP30 Brasil
Simbolisme itu kuat. Di sinilah diplomasi hijau dunia diuji. Apakah janji yang diucapkan di mimbar benar-benar berubah menjadi aksi di lapangan?
“Terlalu banyak perusahaan yang meraup keuntungan besar dari kehancuran iklim, menghabiskan miliaran untuk lobi, menipu publik, dan menghambat kemajuan,” ungkap Sekjen PBB António Guterres dalam pidato pembukaan pra-COP30 di Belém.
Ia menyerukan keberanian moral untuk keluar dari era kompromi.
Dari Hutan ke Energi, Agenda Berat Dunia
COP30 mengusung tiga agenda besar. Transisi energi bersih, perlindungan hutan tropis, dan pendanaan iklim.
Baca juga: COP30, Perjuangan Negara Berkembang untuk Keadilan Iklim
PBB menargetkan kesepakatan Belém Roadmap senilai USD 1,3 triliun per tahun hingga 2035 untuk mendukung proyek iklim di negara-negara berkembang, dari panel surya hingga restorasi ekosistem.

Bagi Brasil, tuan rumah COP30, ini saat untuk menunjukkan kepemimpinan. Presiden Luiz Inácio Lula da Silva menyebut Amazon bukan beban, melainkan aset dunia. “Dunia harus berhenti berputar dalam lingkaran janji dan mulai menempuh jalan konkret menuju ekonomi hijau yang berkeadilan,” ujarnya di hadapan lebih dari 190 delegasi.
Indonesia dan Brasil, Dua Paru Dunia
Bagi Indonesia, pesan dari Belém terasa dekat. Isu hutan, energi, dan pembiayaan iklim juga jadi prioritas dalam strategi FOLU Net Sink 2030 dan rencana menuju net-zero 2050.

Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo, hadir membawa pesan serupa. Keadilan iklim hanya mungkin jika transisi hijau juga berpihak pada negara Selatan.
Baca juga: Super-Taxonomy, Bahasa Baru Keuangan Hijau dari Brasil ke Indonesia
Dua negara dengan paru dunia terbesar ini kini memikul harapan sama, menjadikan hutan bukan sekadar benteng alam, tapi fondasi ekonomi masa depan. ***