
ADA suara dari hutan yang lama tak didengar. Namanya Batang Toru, bentang alam tropis terakhir di Sumatra Utara. Selama bertahun-tahun, paru-paru Tapanuli ini terkikis pelan-pelan. Kini, alam seperti membalas dengan cara yang paling keras dalam wujud banjir besar, longsor, dan ratusan korban jiwa.
Data Greenpeace Indonesia memberi gambaran gelap. Kurang dari sepertiga hutan alam Sumatra kini masih tersisa. Selebihnya hilang dalam 34 tahun terakhir, terutama berubah menjadi sawit, pertambangan, hingga hutan tanaman industri.
“Kita sedang melihat bukti bahwa tata kelola ruang selama puluhan tahun berjalan tanpa koreksi,” kata Peneliti Senior Greenpeace Indonesia, Sapta Ananda Proklamasi.
Batang Toru, Bentang Hutan Terakhir yang Digempur
DAS Batang Toru jadi contoh paling jelas. Dalam 30 tahun, kawasan ini kehilangan 70.000 hektare tutupan hutan, atau 21 persen wilayahnya. Padahal, di sinilah habitat orangutan Tapanuli, spesies langka yang hanya hidup di tempat ini.
Baca juga: Banjir Sumatra Bongkar Sisi Gelap Energi Terbarukan
Greenpeace mencatat, tanah di Batang Toru kini rawan terkikis hingga 31 juta ton per tahun. Di banyak titik, lereng berubah gundul karena izin pertambangan, perkebunan sawit, dan proyek energi yang mengubah hutan menjadi ruang industri.
Bagian hulu jadi ladang kering, hilirnya sawit dan bubur kertas. Hutan alami hanya tersisa di tengah, rapuh dan terjepit.
Banjir Besar Bukan Kebetulan
Ketika banjir bandang menggulung Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat akhir November 2025, banyak orang kaget. Tapi bagi pegiat lingkungan, ini bukan kejutan. Ini tagihan ekologis puluhan tahun yang jatuh tempo.

Greenpeace menegaskan, kerusakan hutan bukan semata soal penebangan liar. “Sebagian besar deforestasi dilegalkan melalui mekanisme izin resmi lintas pemerintahan,” tegas Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas.
Baca juga: Banjir Bandang Sumatra, Bukti Rapuhnya Manajemen Daerah Aliran Sungai
Hasilnya? Lanskap kehilangan daya serap air, sungai tak lagi punya penahan, dan banjir menjadi jalan balik air yang tak diatur.
Korban dan Kerusakan
BNPB mencatat 753 warga meninggal dunia. Lebih dari 3.500 rumah rusak berat, ratusan jembatan hancur, dan ribuan fasilitas publik lumpuh.
Baca juga: Sumatra Membutuhkan Empati Kita
Ini bukan sekadar bencana alam. Ini alarm tata kelola lingkungan.
Waktunya Berhenti Menyalahkan Cuaca
Bagaimana ke depan? Greenpeace mendesak pemerintah berhenti menempelkan solusi di kertas saja. Kebijakan harus memutus siklus ekstraksi yang menggerus bentang alam Sumatra.
“Hujan ekstrem bukan sekadar fenomena. Ini ancaman terhadap nyawa,” kata Iqbal Damanik dari Greenpeace Indonesia. “Tidak ada lagi ruang untuk mitigasi yang hanya di atas kertas,” tambahnya.
Batang Toru, lewat banjir besar di Sumatra, sedang bicara. Kini pertanyaannya sederhana, apakah Jakarta mau mendengar? ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.