
Oleh: Hamdani S Rukiah *
PERDANA Menteri Albania, Edi Rama, baru saja mengguncang panggung politik global. Ia memperkenalkan Diella, sosok menteri yang berbeda dari apa pun yang pernah ada. Tidak makan, tidak tidur, bahkan tidak pernah absen. Sebab Diella bukan manusia, melainkan kecerdasan buatan (AI) yang diberi mandat penuh mengawasi pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Langkah Albania ini bukan sekadar inovasi teknologi. Ini adalah deklarasi politik bahwa negara berpenduduk 2,8 juta jiwa di Balkan itu berani menempatkan algoritma di pusat kekuasaan birokrasi. Rama meyakini Diella akan menutup rapat ruang gelap yang selama ini melahirkan korupsi di sektor tender publik.
Antara Janji Transparansi dan Bayangan Bias
Rama mengklaim bahwa dengan Diella, semua prosedur pengadaan akan transparan, 100 persen bebas korupsi. Klaim itu terdengar revolusioner. Tetapi di balik layar, ada pertanyaan yang lebih mendasar. Sejauh mana algoritma benar-benar netral?
AI dibangun dengan data dan kode yang ditulis manusia. Itu berarti ada kemungkinan bias, celah, bahkan infiltrasi kepentingan. Albania boleh saja mengganti pejabat manusia dengan avatar digital, tetapi struktur kepentingan tetap bisa menempel dalam desain sistem. Diella memang tak bisa disuap, tetapi siapa yang menjamin penyusunnya juga steril dari kepentingan politik atau ekonomi?
Teknologi Sebagai Aktor Politik
Banyak negara telah memanfaatkan AI untuk layanan publik. Estonia menggunakan algoritma untuk menyelesaikan sengketa kecil di pengadilan. Singapura memanfaatkannya untuk mengatur lalu lintas dan keamanan kota. Bedanya, di dua negara itu AI diposisikan sebagai alat bantu yang bekerja di belakang layar.
Baca juga: Albania Tunjuk Menteri AI Pertama di Dunia untuk Awasi Tender Publik
Albania memilih jalan lain. Ia memberi AI wajah, nama, dan posisi formal dalam kabinet. Dengan begitu, teknologi bukan hanya instrumen, melainkan aktor politik yang berdiri di panggung depan. Diella bukan sekadar mesin, tetapi simbol yang diproyeksikan untuk menggantikan wajah manusia yang sering dianggap sumber masalah korupsi.

Warisan Weber dan Sangkar Besi
Sosiolog klasik Max Weber pernah menggambarkan birokrasi sebagai mesin jam modern. Di dalamnya memuat unsur rasional, efisien, dan bebas dari emosi pribadi. Dalam pandangan Weber, birokrasi bekerja menurut aturan yang bisa dihitung, tanpa memandang siapa orangnya.
Diella tampaknya membawa gagasan Weber ke level baru. Ia hadir tanpa rasa takut, tanpa kebutuhan pribadi, tanpa intervensi politik. Namun, Weber juga mengingatkan bahaya lain: “sangkar besi” rasionalisasi. Dunia yang terlalu kaku dan mekanistik bisa melahirkan alienasi. Jika semua keputusan publik akhirnya diserahkan pada algoritma, di mana ruang bagi nilai-nilai kemanusiaan, empati, dan diskresi?
Uji Coba bagi Masa Depan Politik
Pertanyaan besar pun muncul, apakah masyarakat siap mempercayakan masa depan pada mesin? Jika eksperimen Albania berhasil, ini bisa membuka jalan bagi model birokrasi baru yang lebih dipercaya daripada pejabat manusia. Tetapi jika gagal, dunia akan melihat bukti bahwa teknologi tidak bisa sepenuhnya menggantikan politik.
Diella adalah eksperimen yang menyimpan harapan sekaligus kegelisahan. Ia bisa menjadi pionir birokrasi bebas korupsi, atau justru alarm bahwa manusia sedang menyerahkan terlalu banyak kuasa pada algoritma.
Pada akhirnya, tantangan terbesar bukan sekadar membangun mesin yang canggih, melainkan memastikan bahwa di balik layar, nilai-nilai demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas tetap dijaga. Mesin bisa menghitung, tetapi hanya manusia yang bisa mempertanggungjawabkan. ***
- Hamdani S Rukiah, SH, MH adalah Pemimpin Redaksi mulamula.id dan Direktur Pemberitaan SustainReview.id.
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.