Disruptor Kini Terdisrupsi, Akhir Era atau Awal Babak Baru?

Para pekerja sedang mengakses berbagai platform digital melalui smartphone, mencerminkan perubahan ekosistem bisnis di era disrupsi. Kini, para disruptor menghadapi tantangan baru seiring dengan evolusi regulasi dan perilaku konsumen. Foto: Fauxels/ Pexels.
Pengantar Redaksi

Industri teknologi dan startup selama ini lekat dengan kisah disrupsi—para inovator yang mengguncang status quo dan mendominasi pasar. Namun, kini gelombang perubahan justru berbalik arah. Mereka yang dulu hadir sebagai disruptor, kini menghadapi ancaman eksistensi.

Dari Uber hingga Netflix, dari e-commerce hingga kecerdasan buatan (AI), banyak pemain besar kini dipaksa beradaptasi di tengah regulasi ketat, penurunan modal ventura, dan perubahan perilaku konsumen. Apakah ini akhir dari era disruptor, atau justru awal dari babak baru?

Dalam serial artikel akhir pekan ini, mulamula.id menyajikan analisis mendalam tentang fenomena “Disruptor Kini Terdisrupsi”. Tim redaksi Kami akan mengupas bagaimana perubahan ini terjadi, siapa yang terdampak, dan bagaimana mereka bisa bertahan di tengah arus balik yang tak terhindarkan. – Salam Redaksi


Ketika Pengganggu Menjadi yang Terganggu

SEKITAR satu dekade lalu, startup teknologi seperti Uber, Netflix, dan marketplace e-commerce mendobrak industri lama dengan model bisnis baru yang agresif. Mereka berani “membakar uang” demi akuisisi pasar, memanfaatkan regulasi yang longgar, serta mengandalkan investor yang haus pertumbuhan.

Namun kini, peta bisnis berubah drastis. Regulasi semakin ketat, investor lebih selektif, dan konsumen mulai mengubah kebiasaan. Dampaknya? Para disruptor yang dulu berjaya kini harus berjuang lebih keras untuk bertahan.

Menurut laporan Harvard Business Review (2024), lebih dari 50% startup yang masuk kategori unicorn di tahun 2015 kini mengalami penurunan valuasi atau bahkan bangkrut. Ini bukan kebetulan, melainkan hasil dari pergeseran sistemik di dunia bisnis dan teknologi.

Dari E-Commerce hingga AI, Disruptor yang Kini Terdesak
1. E-Commerce: Tak Bisa Lagi Bakar Uang

Di masa kejayaannya, e-commerce tumbuh pesat dengan strategi diskon besar-besaran dan ongkir gratis. Namun, model bisnis ini ternyata tidak berkelanjutan.

  • Regulasi semakin ketat. Pemerintah di berbagai negara mulai membatasi perang harga dan mengatur persaingan bisnis yang lebih adil.
  • Perubahan perilaku konsumen. Setelah pandemi, banyak orang kembali ke toko fisik. Laporan McKinsey (2024) menunjukkan bahwa 62% konsumen kini lebih memilih belanja offline dibandingkan online.
  • Persaingan makin sengit. Amazon, Alibaba, dan Tokopedia harus menghadapi tekanan dari model belanja live shopping seperti TikTok Shop.

Baca juga: Pengaruh Kecerdasan Buatan pada Dunia Kerja dan Pendidikan

Bahkan raksasa seperti Shopee dan Bukalapak kini lebih fokus mengejar profitabilitas daripada sekadar pertumbuhan agresif.

2. Ride-Hailing: Dari Raja Jalanan ke Bisnis yang Terjepit

Uber dan Grab dulunya mendisrupsi industri transportasi dengan model gig economy. Namun, kini mereka menghadapi tantangan besar:

  • Regulasi ketat. Banyak negara kini mengklasifikasikan driver sebagai pekerja tetap, bukan mitra independen. Ini meningkatkan beban operasional perusahaan.
  • Investor ingin profit, bukan sekadar ekspansi. Setelah bertahun-tahun “bakar uang”, investor mulai menuntut keuntungan nyata.
  • Biaya operasional meningkat. Harga bahan bakar naik, dan insentif untuk driver makin mahal.

Akibatnya, Uber terpaksa menaikkan tarif, sementara Grab mulai memperluas layanan ke sektor logistik untuk mencari sumber pendapatan baru.

3. AI: Dari Pionir ke Kompetisi Sengit

Kecerdasan buatan (AI) adalah contoh terbaru dari disrupsi teknologi. ChatGPT sempat merajai pasar, tetapi kini mendapat tantangan berat dari pemain lain seperti DeepSeek, Claude, dan Gemini.

  • Regulasi mulai membatasi pengembangan AI. Uni Eropa baru saja menerapkan AI Act yang mengawasi bagaimana teknologi ini digunakan.
  • Persaingan semakin ketat. OpenAI bukan lagi satu-satunya pemain. Google, Meta, dan startup China ikut berlomba menghadirkan AI generatif yang lebih canggih.
  • Model bisnis AI masih dipertanyakan. Apakah layanan berbasis langganan bisa bertahan dalam jangka panjang?

Baca juga: AI Art, Tren Kreativitas Baru yang Digandrungi Gen Z

Mengapa Ini Terjadi? Faktor yang Mengubah Peta Bisnis

1. Siklus Alami Inovasi
Dalam dunia bisnis, disruptor sering kali mengalami siklus: mereka tumbuh cepat, mendominasi pasar, lalu harus beradaptasi saat kondisi berubah. Hal ini juga terjadi pada perusahaan lama seperti Yahoo yang dulu berjaya tetapi gagal menyesuaikan diri.

2. Regulasi yang Semakin Ketat
Startup sering kali lahir di wilayah abu-abu hukum. Namun, setelah mereka menjadi besar, pemerintah mulai menerapkan regulasi yang lebih ketat untuk melindungi pasar dan pekerja.

Netflix, salah satu disruptor industri hiburan, kini menghadapi tekanan persaingan dan perubahan pasar. Beradaptasi, platform ini mengadopsi model berbasis iklan untuk mempertahankan profitabilitas di era disrupsi balik. Foto: Anastasia Shuraeva/ Pexels.

3. Investor Tidak Lagi Mau Bakar Uang
Selama dekade terakhir, modal ventura membanjiri startup tanpa menuntut profitabilitas. Namun kini, dengan suku bunga tinggi dan ketidakpastian ekonomi global, investor ingin melihat keuntungan nyata.

Apakah Ini Akhir atau Justru Awal Baru?

Meskipun banyak disruptor kini mengalami tekanan besar, ini bukan berarti mereka akan lenyap. Sebaliknya, ini adalah ujian bagi siapa yang bisa beradaptasi dan siapa yang akan tertinggal.

Beberapa strategi yang kini mulai diadopsi:

  • Fokus pada profit, bukan hanya pertumbuhan. Netflix kini menawarkan paket dengan iklan untuk meningkatkan pendapatan.
  • Diversifikasi bisnis. Uber mulai masuk ke bisnis logistik dan pengiriman makanan.
  • Inovasi berkelanjutan. Perusahaan AI terus meningkatkan fitur agar tetap relevan di pasar.

Baca juga: Swipe, Klik, Beli: Media Sosial Mengubah Cara Kita Berbelanja

Menurut analis dari The Economist, era ini bukanlah akhir dari disruptor, melainkan fase baru di mana hanya yang paling inovatif yang akan bertahan.

Masa Depan Disrupsi

Disrupsi teknologi tidak akan pernah berhenti, tetapi mereka yang dulu mengguncang industri kini harus menghadapi realitas baru. Tidak semua akan bertahan, tetapi mereka yang bisa beradaptasi akan tetap relevan dalam lanskap bisnis yang terus berubah.

Tunggu artikel berikutnya siang ini, di mana kami akan mengulas bagaimana strategi bertahan para disruptor dalam menghadapi tekanan ini. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *