
JAKARTA, mulamula.id – Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut tak ada pemerkosaan massal dalam tragedi Mei 1998 memicu kritik tajam dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Lembaga itu menilai pernyataan Fadli bukan sekadar keliru, tapi juga menyakitkan bagi para penyintas.
Penyintas Terluka Kembali
Komisioner Komnas Perempuan, Dahlia Madanih, menyebut penyangkalan seperti itu memperpanjang luka yang belum sembuh sejak 26 tahun lalu. “Penyintas sudah terlalu lama memikul beban dalam diam. Penyangkalan ini bukan hanya menyakitkan, tapi juga memperpanjang impunitas,” ujarnya, Senin (16/6).
Komnas Perempuan mengingatkan, laporan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pasca-kerusuhan mencatat 85 kasus kekerasan seksual, termasuk 52 kasus pemerkosaan. Laporan itu menjadi pijakan negara dalam mengakui adanya kejahatan seksual dalam tragedi tersebut. Dari laporan itu pula, lahir Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998 yang membentuk Komnas Perempuan.
Baca juga: Brad Pitt Palsu Gunakan AI, Perempuan Prancis Rugi Rp 14 Miliar
Menurut Dahlia, meragukan temuan TGPF sama saja mengabaikan upaya kolektif bangsa menegakkan keadilan. “Dokumen TGPF adalah produk resmi negara,” tegasnya.
Desakan Permintaan Maaf
Komisioner lainnya, Yuni Asriyanti, meminta Fadli Zon menarik ucapannya dan meminta maaf secara terbuka. Baginya, pengakuan atas kebenaran menjadi kunci penting bagi pemulihan korban secara adil dan bermartabat.
Baca juga: Suni Williams Ukir Sejarah, Astronot Perempuan dengan Waktu Spacewalk Terlama
Senada, Wakil Ketua Transisi Komnas Perempuan, Sondang Frishka Simanjuntak, menegaskan pentingnya para pejabat negara menghormati hasil kerja pendokumentasian resmi. “Komitmen pada hak asasi manusia dan pemulihan korban harus dipegang teguh,” katanya.
Klarifikasi Fadli Zon
Di sisi lain, Fadli Zon mengklarifikasi bahwa pernyataannya tidak dimaksudkan untuk meniadakan kekerasan seksual dalam peristiwa Mei 1998. Ia hanya mengingatkan agar narasi sejarah disusun berdasarkan data hukum yang teruji.
“Berbagai tindak kejahatan, termasuk kekerasan seksual, memang terjadi saat kerusuhan 13-14 Mei 1998. Namun istilah ‘perkosaan massal’ hingga kini masih diperdebatkan karena datanya tak konklusif,” ujarnya.
Baca juga: Mengapa Perempuan Dilarang Masuk ke Pulau Okinoshima?
Fadli berargumen, istilah ‘massal’ memiliki sensitivitas tersendiri secara akademik dan sosial, sehingga harus dikelola secara hati-hati. “Saya mengecam segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Pernyataan saya bukan untuk menyangkal penderitaan korban, melainkan menekankan pentingnya ketelitian dalam penyusunan fakta sejarah,” tegasnya.
Kisah yang Belum Usai
Tragedi Mei 1998 meninggalkan luka mendalam bagi banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. Bagi Komnas Perempuan, pengakuan atas kebenaran sejarah menjadi langkah penting dalam upaya pemulihan yang bermartabat.
Persoalan ini kembali mengingatkan publik bahwa luka sejarah belum sepenuhnya pulih. Dan di tengah perdebatan definisi serta angka, suara para penyintas tetap membutuhkan ruang keadilan. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.