
DI BALIK pegunungan, karst, dan danau vulkanik yang tersebar di penjuru negeri, Indonesia menyimpan harta karun tak kasat mata—warisan geologi yang kini diakui dunia. Pada April 2025, dua geopark baru dari Indonesia, Kebumen dan Meratus, resmi masuk dalam jaringan UNESCO Global Geoparks (UGGp).
Keputusan ini diumumkan dalam Sidang Dewan Eksekutif UNESCO ke-221 di Paris. Dengan penambahan ini, total ada 12 geopark Indonesia yang telah mendapatkan pengakuan internasional. Ini bukan sekadar angka. Ini adalah pengakuan atas kerja keras dalam melestarikan lanskap bumi dan budaya lokal.
Geopark, Warisan Geologi Penting
Geopark atau taman bumi adalah kawasan yang memiliki warisan geologi penting, yang dikelola untuk tujuan konservasi, edukasi, dan pembangunan berkelanjutan. Di Indonesia, konsep ini berkembang pesat sejak 2012. Kini, setiap geopark menjadi panggung bagi cerita unik: tentang letusan gunung, terumbu karang purba, hingga jejak kehidupan masa lampau.
Baca juga: Jatiluwih & Wukirsari, 2 Desa Wisata Indonesia di Panggung Dunia
Dari Batur ke Meratus: Mosaik Geologi Nusantara
Inilah daftar lengkap geopark Indonesia yang telah diakui UNESCO:
- Batur (Bali) – Geopark pertama Indonesia. Diakui sejak 2012. Kaldera luas dan Danau Batur menjadi bukti letusan dahsyat masa lalu.
- Gunung Sewu (Yogyakarta, Jateng, Jatim) – Dikenal dengan lanskap karst tropis dan ribuan bukit kecil. Masuk UNESCO pada 2015.
- Ciletuh-Palabuhanratu (Jabar) – Formasi batuan berusia 65 juta tahun. Diakui 2018. Perpaduan geologi dan pesona pesisir.
- Rinjani-Lombok (NTB) – Gunung aktif yang membentuk kaldera spektakuler. Juga diakui tahun 2018.
- Kaldera Toba (Sumut) – Supervolcano yang menciptakan Danau Toba. Menjadi geopark UNESCO sejak 2020.
- Belitong (Babel) – Pulau granit eksotis. Masuk jaringan UNESCO pada 2021.
- Ijen (Jatim) – Kawah asam terbesar di dunia dengan fenomena blue fire. Diakui sejak 2023.
- Maros-Pangkep (Sulsel) – Salah satu kawasan karst tertua di Asia Tenggara. Diakui 2023.
- Merangin Jambi (Jambi) – Situs fosil tumbuhan dari 296 juta tahun lalu. Juga masuk daftar pada 2023.
- Raja Ampat (Papua Barat) – Biodiversitas laut dan batuan tua jadi andalan. Masuk UNESCO 2023.
- Kebumen (Jateng) – Diakui tahun ini. Kawasan geologi dengan batuan purba, goa karst, dan jejak bumi purba.
- Meratus (Kalsel) – Pegunungan tropis dan budaya Dayak menjadi sorotan utama. Resmi ditetapkan UNESCO 2025.
Mengapa Ini Penting untuk Keberlanjutan?
Pengakuan ini membuka jalan bagi pengembangan pariwisata yang bertumpu pada edukasi dan pelestarian, bukan eksploitasi. Geopark bukan hanya tempat wisata. Ia adalah ruang belajar tentang bagaimana bumi bekerja, bagaimana manusia hidup berdampingan dengan alam, dan bagaimana warisan ini dijaga untuk generasi mendatang.

Geopark juga menjadi alat diplomasi budaya. Lewat status UNESCO, daerah terpencil seperti Meratus atau Merangin bisa dikenal dunia. Ini mendorong kolaborasi antara pemerintah, masyarakat adat, akademisi, hingga pelaku wisata.
Perlu Menjaga Keseimbangan
Namun, pengakuan UNESCO bukan akhir. Ini justru awal dari tanggung jawab besar. Infrastruktur ramah lingkungan, pengelolaan sampah, kapasitas pemandu wisata, hingga perlindungan terhadap masyarakat lokal harus jadi prioritas. Tanpa manajemen berkelanjutan, predikat UNESCO bisa dicabut.
Baca juga: Kalau Gunung Fuji Meletus, Begini Cara Jepang Lindungi Warganya
Penting juga untuk menjaga keseimbangan antara kunjungan wisata dan daya dukung ekosistem. Tanpa regulasi dan pemantauan, wisata massal justru bisa merusak warisan yang ingin dilestarikan.
Menjaga Cerita dari Perut Bumi
Setiap geopark Indonesia adalah potongan puzzle tentang sejarah bumi. Dari letusan purba Batur hingga fosil Merangin, dari tebing granit Belitong hingga laut dalam Raja Ampat—semuanya bicara tentang waktu, perubahan, dan adaptasi.
Baca juga: Ekowisata Indonesia, Liburan Seru Tanpa Merusak Alam
Menjadikan geopark sebagai bagian dari strategi pembangunan berkelanjutan adalah kunci. Di sinilah tantangan sekaligus peluang. Dengan pengelolaan tepat, geopark tak hanya mendatangkan wisatawan, tapi juga memperkuat identitas lokal dan konservasi lingkungan. ***
Artikel ini hasil kolaborasi antara Mulamula.id dan SustainReview.id, untuk menghadirkan wawasan mendalam seputar isu keberlanjutan dan transformasi hijau.