
GEOPARK kerap dijual sebagai kawasan wisata berbasis konservasi. Namun, narasi indah tentang pelestarian alam dan pembangunan berkelanjutan itu ternyata menyimpan persoalan pelik. Di balik lanskap geologis yang memesona, tersembunyi pertarungan kepentingan soal tanah, kuasa, dan keuntungan.
Penelitian gabungan antara Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Wageningen University, Belanda, membuka tabir ini. Lewat studi berjudul Apprehending Land Value Through Tourism in Indonesia yang terbit di jurnal internasional Tijdschrift voor Economische en Sociale Geografie (Q1), para peneliti menelusuri bagaimana geopark menjadi arena komodifikasi ruang pedesaan.
Dosen UGM yang terlibat dalam riset tersebut, Dr. Rucitarahma Ristiawan, menjelaskan bahwa proses pembangunan geopark tidak lepas dari perebutan nilai lahan. “Geopark seolah jadi kemasan ideal proyek pembangunan. Padahal, di baliknya terjadi konflik kuasa dan ekonomi,” ujarnya mengutip laman resmi UGM.
Transformasi Lahan dan Gentrifikasi yang Terselubung
Penelitian ini mengambil dua studi kasus: Geopark Gunung Sewu di Yogyakarta dan Geopark Ciletuh Palabuhanratu di Sukabumi. Keduanya menampilkan dinamika yang berbeda: satu didorong oleh pemerintah daerah, satu lagi lahir dari inisiatif warga yang dibantu CSR perusahaan negara.
Baca juga: Geopark Toba di Ambang Pencoretan, Nasib Pariwisata Dipertaruhkan
Namun, hasil akhirnya serupa. Lahan pertanian dan pesisir yang dulu dianggap tidak produktif berubah menjadi vila, homestay, dan resort. Infrastruktur jalan mempercepat akses sekaligus mendorong lonjakan harga tanah. Di Gunung Sewu, harga tanah melonjak dari Rp30 ribu menjadi Rp1 juta per meter persegi dalam dua dekade.

“Geopark memang membuka pintu investasi, tapi juga membuka celah ketimpangan antara pemilik modal dan warga kecil,” kata Rucitarahma. Pemerintah daerah dan elit lokal memainkan peran besar dalam menentukan siapa yang bisa masuk ke arena pembangunan. Praktik perizinan informal dan alokasi proyek ke orang dalam bukan hal asing.
Warga Lokal: Terdorong, Tergeser, atau Bertahan?
Riset ini juga memetakan warga terdampak ke dalam tiga kategori. Pertama, mereka yang punya tanah strategis dan jaringan politik, mampu bernegosiasi dan mendapat keuntungan. Kedua, kelompok menengah yang mencoba beradaptasi, misalnya dengan membuka warung atau homestay sambil tetap bertani.
Baca juga: Krisis Iklim, Tiga Situs Bersejarah Indonesia Terancam Hilang
Dan ketiga, kelompok paling rentan: petani dan nelayan tanpa modal, koneksi, atau pengaruh. Mereka sering terpaksa menjual lahan atau menerima perubahan tanpa pilihan. Bahkan ada yang mengalami kecelakaan saat mengangkut hasil panen karena jalan ke ladang kini dipenuhi kendaraan wisatawan.
“Banyak warga harus mencari rute baru ke ladang karena akses utama diambil alih properti wisata,” ujar Rucitarahma.
Kampus, Kapital, dan Arah Pembangunan yang Bergeser
Di Geopark Gunung Sewu, UGM sempat berperan penting dalam perencanaan awal melalui Forum Pengelolaan Karst. Forum ini beranggotakan akademisi, pemerintah daerah, dan masyarakat. Namun, arah pembangunan kini bergeser. Konservasi terpinggirkan, digantikan logika pasar.
Baca juga: Geopark Indonesia Mendunia, 12 Kawasan Masuk Daftar UNESCO
“UGM dulu hadir sebagai penyeimbang. Tapi ketika investasi besar mulai masuk, pendekatan kritis perlahan kalah oleh pendekatan teknokratik,” tambahnya.
Penelitian ini memberi pelajaran penting. Geopark tak boleh dilihat hanya sebagai proyek wisata atau pelestarian alam. Ia adalah ruang kontestasi makna, nilai, dan kepemilikan atas tanah. Ketika pembangunan dibingkai dalam narasi ramah lingkungan tanpa kontrol sosial, ketimpangan bisa melebar.
“Siapa yang untung dan siapa yang tersingkir harus selalu menjadi pertanyaan utama dalam setiap pembangunan,” pungkas Rucitarahma. ***
Artikel ini hasil kolaborasi antara Mulamula.id dan SustainReview.id, untuk menghadirkan wawasan mendalam seputar isu keberlanjutan dan transformasi hijau.