
JAKARTA, mulamula.id – Perdebatan soal syarat pendidikan bagi pejabat publik kembali menyeruak. Kali ini, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon, Hanter Oriko Siregar, menilai syarat minimal lulusan SMA bagi calon legislatif, kepala daerah, hingga presiden sudah tidak relevan dengan kompleksitas negara saat ini.
Dari Guru SD ke Presiden
Dalam sidang perkara nomor 154/PUU-XXIII/2025, Hanter mengajukan argumen yang cukup tajam. Ia membandingkan syarat profesi guru sekolah dasar yang diwajibkan minimal S1, dengan syarat presiden yang hanya setingkat SMA.
“Guru SD memang penting, tetapi tanggung jawabnya terbatas pada ruang kelas. Sementara presiden dan DPR berhadapan dengan kompleksitas negara, menyusun UU, hingga menentukan arah kebijakan publik,” jelasnya.
Baca juga: MK Pasang Tameng, Aktivis Lingkungan Kini Tak Bisa Dikriminalisasi
Menurutnya, standar pendidikan yang rendah berisiko melahirkan pemimpin yang tidak siap. “Bayangkan jika kebijakan strategis diambil oleh orang yang tidak bisa membedakan hutan dengan perkebunan sawit, atau asam folat dengan asam sulfat,” tambahnya.
Dampak pada Kualitas Kebijakan
Pemohon berargumen, syarat pendidikan yang rendah dapat memengaruhi kualitas keputusan politik. Hal ini bisa merugikan rakyat dan bahkan merusak wibawa kepemimpinan di mata publik. Ia menilai, rendahnya kapasitas pemimpin berpotensi menjadikan presiden atau wakil presiden bahan olok-olok di ruang publik maupun media sosial.
Lebih jauh, Hanter menegaskan hak konstitusional warga negara bisa terganggu bila keputusan strategis diambil tanpa bekal ilmu memadai.
Respons Hakim MK
Menanggapi permohonan itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan bahwa Pasal 169 huruf r UU Pemilu sebenarnya sudah pernah diuji melalui Putusan MK Nomor 87/PUU-XXIII/2025.
Enny menyarankan agar pemohon tidak hanya bergantung pada jalur uji materi.
Baca juga: MK Larang Menteri dan Wamen Rangkap Jabatan, Berlaku dalam 2 Tahun
“Kenapa tidak mendorong ke proses legislasi? Saat ini revisi UU Pemilu sedang berlangsung. Itu bisa menjadi ruang partisipasi publik untuk memasukkan syarat pendidikan yang lebih tinggi,” ujarnya.
Ia menekankan, agar MK bisa bergeser dari putusan sebelumnya, diperlukan argumen yang lebih kokoh dan sistematis.
Debat Panjang yang Belum Usai
Isu ini bukan pertama kali mencuat. Sebelumnya, wacana menaikkan standar pendidikan bagi calon pemimpin selalu menimbulkan pro-kontra. Di satu sisi, ada yang menilai pengalaman politik dan kedekatan dengan rakyat lebih penting daripada gelar akademik. Namun, di sisi lain, tidak sedikit yang percaya pendidikan tinggi adalah fondasi untuk menghadapi kompleksitas pemerintahan modern.
Sidang uji materi ini kemungkinan besar akan membuka perdebatan panjang tentang kualitas kepemimpinan, standar demokrasi, dan arah politik Indonesia ke depan. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.