
HARGA beras makin naik, sekarang sudah tembus Rp15.000/kg. Padahal pemerintah sering klaim surplus. Kenapa bisa begitu?
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, mengingatkan bahwa kebijakan pangan Indonesia terlalu sempit. Semua hanya dipusatkan ke beras. “Kalau ini terus dipaksakan, dalam 5–10 tahun Indonesia bisa hadapi hiperinflasi. Dampaknya paling berat ke masyarakat miskin yang sangat bergantung pada beras,” kata Bhima, Selasa (16/9/2025).
Surplus di Atas Kertas
Fakta di lapangan justru berbeda. Luas panen padi terus turun sejak 2021, sementara impor pupuk dan pangan malah naik. Program food estate juga belum berhasil. Di Merauke, harga beras tetap merangkak meski ada proyek besar.
Baca juga: Pangan Dunia Tersandera 9 Tanaman, Alarm Bahaya dari FAO
Bhima menegaskan, masalah ini bukan sekadar harga, tapi arah kebijakan. “Kita tidak bisa makan nikel. Kalau semua lahan dipakai untuk industri, lalu siapa yang jaga ketahanan pangan?” ujarnya menyinggung fenomena di Maluku Utara dan Obi, di mana anak-anak muda lebih memilih kerja di smelter daripada bertani.

Diversifikasi Jadi Kunci
Menurut Bhima, solusinya adalah diversifikasi pangan. Indonesia punya banyak pilihan. Ada sagu, jagung, ubi, hingga tanaman lokal lain yang bisa tumbuh berdampingan dengan hutan. Diversifikasi bukan hanya soal menambah menu, tapi juga cara menjaga ekosistem.
Baca juga: Kalau Petani Gagal Panen karena Krisis Iklim, Kita Makan Apa?
“Kalau ketahanan pangan hanya diartikan cadangan beras, kita salah arah. Akibatnya inflasi, kemiskinan, dan krisis pangan bisa makin parah,” tegasnya. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.