Hijau tapi Bohong, Ketika Greenwashing Menjadi Strategi Korporasi

Praktik greenwashing: strategi komunikasi perusahaan sebagai upaya membangun citra ramah lingkungan yang belum tentu mencerminkan praktik nyatanya. Foto: Ilustrasi/ Thirdman/ Pexels.

DI BALIK produk berlabel “eco-friendly” dan kampanye korporasi bertema hijau, ada kenyataan yang tak seindah iklannya. Praktik ini dikenal sebagai greenwashing.

Greenwashing adalah strategi komunikasi yang digunakan perusahaan untuk membangun citra peduli lingkungan tanpa benar-benar mengubah praktik bisnis yang merusak. Istilah ini pertama kali populer pada 1980-an, namun kini kembali merebak di tengah tren gaya hidup hijau dan meningkatnya kesadaran iklim.

Janji Hijau di Kemasan, Polusi di Produksi

Perusahaan ritel global, misalnya, gencar menjual lini “sustainable fashion”. Namun di balik kain daur ulang dan kampanye #GoGreen, banyak dari mereka tetap memproduksi jutaan unit pakaian setiap tahun, dengan rantai pasok yang penuh emisi dan eksploitasi tenaga kerja.

Di sektor energi, perusahaan minyak dan gas mengiklankan proyek “energi terbarukan”. Tapi, mereka tetap menggelontorkan miliaran dolar untuk eksplorasi migas baru. Menurut laporan Greenpeace berjudul “The Dirty Dozen: The Climate Greenwashing of 12 European Oil Companies” yang dirilis pada Agustus 2023, rata-rata hanya 0,3% dari total produksi energi dua belas perusahaan minyak dan gas terbesar di Eropa berasal dari sumber energi terbarukan.

Di Indonesia, dari Bank Sampah sampai Tambang Nikel

Di Indonesia, praktik greenwashing juga marak. Bank-bank besar mengklaim mendukung ekonomi hijau, namun masih mendanai proyek PLTU batubara. Di sektor pertambangan, beberapa perusahaan nikel mempromosikan diri sebagai penyokong transisi energi karena bahan baku baterai listrik, padahal menimbulkan deforestasi dan pencemaran.

Baca juga: Sustainability Branding di Indonesia, Tren atau Greenwashing?

Kampanye bersih-bersih pantai yang disponsori perusahaan air minum dalam kemasan juga jadi sorotan. Di satu sisi mereka ajak masyarakat kurangi sampah, di sisi lain mereka tetap memproduksi miliaran botol plastik sekali pakai setiap tahun.

Penyebab Greenwashing Berbahaya

Pertama, greenwashing menyesatkan konsumen. Publik jadi percaya bahwa konsumsi tertentu sudah cukup untuk menyelamatkan bumi, padahal tidak.

Foto: Ilustrasi/ Anna Shvets/ Pexels.

Kedua, greenwashing mengalihkan tanggung jawab sistemik. Perusahaan dan negara seharusnya mengubah regulasi, investasi, dan rantai produksi. Bukan hanya mengganti logo jadi warna hijau.

Ketiga, greenwashing memperlambat aksi iklim yang sesungguhnya. Dengan memberi kesan progresif palsu, perusahaan bisa menghindari tekanan perubahan struktural.

Saatnya Bergerak dari Simbol ke Substansi

Sebagai konsumen dan warga, kita perlu lebih kritis. Tanyakan: apakah klaim hijau mereka terukur dan transparan? Apakah mereka punya target iklim yang jelas dan akuntabel?

Media, aktivis, dan lembaga riset juga punya peran penting untuk membongkar greenwashing. Tanpa tekanan publik, sulit berharap korporasi akan berubah secara sukarela.

Dan pada akhirnya, regulasi harus berbicara. Pemerintah perlu mengatur pelabelan hijau, mengaudit laporan ESG, serta memberi sanksi pada klaim palsu. Tanpa kerangka hukum yang kuat, greenwashing akan tetap jadi strategi murah pencitraan.

Hijau bukan sekadar warna. Ia harus jadi prinsip dalam seluruh rantai nilai—dari hulu hingga hilir, dari janji ke aksi. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *