Kalau Petani Gagal Panen karena Krisis Iklim, Kita Makan Apa?

Seorang petani memikul bibit padi di area persawahan. Di tengah cuaca yang makin tak menentu, mereka tetap bertahan menjaga rantai pangan Indonesia. Foto: Rahmad Himawan/ Pexels.

POLA cuaca di Indonesia kini makin sulit ditebak. Musim hujan datang tak menentu, kemarau lebih panjang dari biasanya. Bagi sebagian masyarakat kota, ini cuma jadi keluhan ringan. Tapi bagi petani, ini soal hidup dan mati. Perubahan iklim global sudah menyusup ke dapur kita, mengancam masa depan pangan nasional.

Cuaca Ekstrem, Prediksi Gagal Total

Studi paleoklimatologi terbaru yang terbit di Palaeogeography, Palaeoclimatology, Palaeoecology menyebut pencairan es di Atlantik bisa mengganggu musim hujan di kawasan tropis, termasuk Asia Tenggara. Akibatnya? Indonesia berisiko mengalami kekeringan lebih lama dan lebih sering.

Baca juga: Gurun Saja Bisa Bersalju, Masih Mau Bilang Krisis Iklim itu Mitos?

Pakar Agrometeorologi dari UGM, Bayu Dwi Apri Nugroho, memperingatkan sistem iklim global sudah berubah. “Ini bukan sekadar gangguan musiman, tapi sinyal perubahan besar yang perlu kita antisipasi,” ujarnya. Penguatan monsun Indo-Australia yang basahi Australia justru membuat wilayah Asia Tenggara makin kering.

Seorang petani memikul panenan daun segar dari ladang menuju tempat pengumpulan. Di tengah tantangan iklim yang berubah, mereka tetap menjadi garda terdepan penyedia pangan. Foto: Debendra Das/ Pexels.

Jika ini terus berlanjut, pertanian Indonesia terancam gagal panen massal. Bukan hanya petani yang rugi, kita semua akan terdampak.

Ketahanan Pangan Ada di Hulu

Sayangnya, Indonesia masih lemah dalam sistem prediksi cuaca. Kualitas data yang terbatas membuat keputusan strategis di sektor pertanian sulit diambil tepat waktu. Bayu menyebut ini sebagai “lubang besar” dalam kesiapsiagaan kita menghadapi iklim ekstrem.

Baca juga: Pola Makan Nabati, Solusi Strategis Mengatasi Perubahan Iklim

Solusinya harus dimulai dari hulu. Pembangunan embung, pemanfaatan air tanah, dan penguatan sistem peringatan dini jadi langkah konkret. Dengan data yang akurat, petani bisa menanam di waktu yang tepat dan meminimalkan risiko gagal panen. Infrastruktur irigasi juga harus diperkuat. Bibit tahan kekeringan perlu dikembangkan segera.

Petani lanjut usia kembali dari sawah dengan tubuh berlumpur dan keranjang di tangan. Di tengah ancaman krisis iklim, para petani terus berjuang menjaga ketahanan pangan kita. Foto: Hong Son/ Pexels.

Namun adaptasi teknis saja tidak cukup. Bayu menekankan pentingnya kerja sama antara peneliti, pembuat kebijakan, dan pelaku lapangan untuk membangun sistem ketahanan pangan yang tangguh.

Adaptasi Iklim Butuh Semua Orang

Literasi iklim perlu ditingkatkan, bukan hanya di kalangan ahli, tapi juga masyarakat luas. Bayu mendorong aksi sederhana tapi berdampak seperti jalan kaki, hemat air, tanam pohon, rawat tanah. “Perubahan besar dimulai dari tindakan kecil,” katanya.

Baca juga: Anak Zaman Now, Korban Iklim Masa Lalu

Generasi muda punya posisi strategis. Mereka bisa jadi agen perubahan yang mendorong gaya hidup berkelanjutan dan mendorong pemerintah lebih cepat tanggap terhadap krisis iklim.

Kita sedang berpacu dengan waktu. Kalau adaptasi tak segera dijalankan, bukan cuma petani yang rugi. Ketahanan pangan Indonesia bisa runtuh pelan-pelan. Dan ketika itu terjadi, semua orang akan merasakannya, dari sawah hingga meja makan. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *