
LANGIT Riau kembali diselimuti kecemasan. Sejak April 2025, pemerintah pusat menetapkan provinsi ini dalam status darurat kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Status itu bukan sekadar peringatan biasa. Ini adalah cermin dari sebuah krisis yang perlahan namun pasti merayap: perubahan iklim, degradasi lahan, dan ketimpangan tata kelola ekosistem.
Dalam apel siaga yang digelar di Lanud Roesmin Nurjadin, Menko Polhukam Budi Gunawan menyampaikan bahwa penetapan status darurat akan berlaku hingga akhir tahun, sejalan dengan proyeksi musim kering dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Data Panas, Dampak Nyata
Fakta di lapangan memperkuat kekhawatiran. Hingga akhir April, Riau telah kehilangan 81 hektare hutan dan lahan. Dari pantauan satelit, terdapat 144 titik panas yang tersebar di berbagai lokasi. Titik-titik itu bukan hanya angka, melainkan jejak-jejak hilangnya biodiversitas, rusaknya ekosistem gambut, dan ancaman pada kesehatan publik akibat asap yang mungkin kembali membayangi.
Baca juga: Krisis Iklim, 2024 Tahun Terpanas Sepanjang Sejarah
Hotspot juga ditemukan di provinsi lain seperti Aceh, Jambi, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Fenomena ini menunjukkan bahwa ancaman karhutla bukan masalah Riau semata, tetapi problem lintas-wilayah yang harus ditanggapi secara kolaboratif.
Ancaman Ganda di Tengah Dua Musim Kemarau
Menurut Plt. Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, tahun ini Riau mengalami kemarau dua kali—Februari–Maret dan kemudian Mei hingga September sebagai puncaknya. Ini membuat wilayah tersebut lebih rentan dibanding provinsi lain.
“Bahkan tanpa pembakaran, bisa terjadi kebakaran karena angin dan gesekan ranting,” kata Dwikorita. Penjelasan ini memperlihatkan betapa sensitifnya lanskap alam Riau, terutama lahan gambut yang mudah terbakar saat mengering.

BMKG memperkirakan musim kemarau nasional akan dimulai bertahap akhir April, dengan puncaknya pada Juni hingga Agustus. Sebanyak 14% wilayah Indonesia diprediksi mengalami kemarau di bawah normal, alias lebih kering dari biasanya. Ini termasuk Riau, Sumatra Utara, hingga NTT.
Perlu Strategi Mitigasi yang Lebih Progresif
Krisis ini menuntut lebih dari sekadar respons teknis. Butuh tata kelola risiko yang berbasis data, kolaborasi lintas sektor, dan keterlibatan aktif masyarakat. BMKG sendiri telah menyediakan sistem informasi interaktif terkait hotspot, kualitas udara, dan prakiraan karhutla yang dapat diakses publik secara daring.
Baca juga: FireSat, Satelit AI yang Bisa Deteksi Kebakaran Hutan dalam Hitungan Menit
Pemerintah daerah diminta siaga penuh, terutama menjelang dan selama puncak kemarau. Rekomendasi BMKG antara lain memperkuat pemantauan dini, sosialisasi larangan pembakaran, dan optimalisasi penggunaan teknologi untuk deteksi dini.
Lebih jauh, tantangan karhutla harus dibingkai dalam pendekatan keberlanjutan yang menyeluruh. Artinya, pembenahan tata ruang, rehabilitasi gambut, dan insentif untuk pelaku ekonomi agar tidak bergantung pada praktik pembakaran harus menjadi bagian dari strategi jangka panjang.
Dari Riau untuk Nusantara
Ketika risiko karhutla semakin meluas ke Kalimantan, Nusa Tenggara, dan Papua dalam beberapa bulan ke depan, pengalaman Riau menjadi pelajaran penting. Tidak hanya soal mitigasi, tetapi juga soal transformasi paradigma pembangunan yang selaras dengan daya dukung alam.
Kebakaran hutan bukan lagi hanya urusan kebakaran. Tapi, juga ujian integritas kebijakan, efektivitas kolaborasi, dan komitmen kita pada masa depan bumi yang lebih berkelanjutan. ***
Artikel ini hasil kolaborasi antara Mulamula.id dan SustainReview.id, untuk menghadirkan wawasan mendalam seputar isu keberlanjutan dan transformasi hijau.