Kenapa Letter C Tak Lagi Bisa Jadi Senjata Ampuh Sengketa Tanah?

Hamparan lahan pertanian di desa. Banyak warga masih mengandalkan Letter C sebagai bukti kepemilikan tanah, meski Mahkamah Agung menegaskan dokumen ini tak cukup kuat tanpa sertifikat resmi. Foto: Ilustrasi/ Sergej Karpow/ Pexels.

KEPEMILIKAN tanah di Indonesia masih menyimpan banyak persoalan, terutama terkait bukti kepemilikan lama yang belum dikonversi menjadi sertifikat resmi. Kondisi ini kerap menimbulkan sengketa di pengadilan, di mana dokumen lama seperti girik, petuk pajak bumi, hingga Letter C Tanah dijadikan dasar klaim kepemilikan.

Namun, Mahkamah Agung (MA) sejak lama sudah memberi pijakan hukum jelas. Putusan Nomor 84 K/Sip/1973 yang diputus oleh Majelis Hakim Agung R. Subekti, SH, menegaskan catatan dalam Letter C Tanah tidak bisa berdiri sendiri sebagai bukti hak milik. Dokumen tersebut baru bernilai jika dilengkapi alat bukti lain yang sah.

Hak Milik, Hak Terkuat

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 menyebut hak milik sebagai hak terkuat dan terpenuh atas tanah. Hak ini bisa diwariskan, dialihkan, bahkan dijadikan jaminan utang dengan hak tanggungan. Namun, hanya sekitar 40 persen pemilik tanah di Indonesia yang sudah mengantongi sertifikat hak milik.

Baca juga: Somasi Tidak Wajib Akta Autentik, Ini Penjelasan MA

Kementerian ATR/BPN mencatat, hingga awal 2020 baru ada 11,24 juta pendaftar hak atas tanah. Sisanya masih bergantung pada bukti lama yang disimpan desa, termasuk Letter C Tanah yang dicatatkan perangkat desa sejak puluhan tahun lalu.

Letter C: Catatan, Bukan Bukti Final

Letter C Tanah sering dijadikan bukti di pengadilan ketika sengketa kepemilikan muncul. Dokumen ini memang mencatat sejarah peralihan tanah dari generasi ke generasi. Namun, menurut yurisprudensi MA, catatan itu bukanlah bukti hak milik penuh. Tanpa dokumen pendukung lain, klaim atas tanah tetap rapuh.

Baca juga: Kapan Waktu Tepat Ajukan Gugatan Rekonvensi? Simak Putusan MA

Putusan MA Nomor 84 K/Sip/1973 yang kini menjadi yurisprudensi tetap, menutup ruang multitafsir. Putusan ini memastikan bahwa kepemilikan tanah hanya kuat bila ada sertifikat atau bukti hukum lain yang mendukung. Dengan demikian, Letter C lebih tepat disebut catatan administratif desa, bukan sertifikat kepemilikan.

Implikasi bagi Sengketa Tanah

Bagi masyarakat, putusan ini memberi pesan jelas yaitu segera konversikan bukti lama menjadi sertifikat hak milik. Sertifikat bukan sekadar formalitas, tapi perlindungan hukum dari potensi sengketa.

Baca juga: Putusan MA: Pajak Bumi Bukan Bukti Kepemilikan Tanah

Di sisi lain, bagi pengadilan, yurisprudensi ini menjadi rujukan penting untuk menilai bobot pembuktian dalam perkara pertanahan. Ini membatasi potensi penyalahgunaan dokumen lama yang rawan dipalsukan atau ditafsirkan berbeda. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Dukung Jurnalisme Kami: https://saweria.co/PTMULAMULAMEDIA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *