
SAAT media sosial muncul, dunia menyambutnya dengan harapan. Kita bisa terhubung tanpa batas, berbagi kabar dengan teman lama, dan membangun komunitas yang hidup. Tapi, kenyataannya tak seindah impian awal.
Kini, media sosial terasa asing. Alih-alih melihat unggahan teman, kita lebih sering disuguhi video viral dari akun tak dikenal. Bahkan Facebook—pelopor jejaring sosial—secara resmi menyatakan diri bukan lagi platform “media sosial”.
Mark Zuckerberg mengatakan, “Facebook bukan tempat untuk menjalin koneksi seperti dulu. Ini era discovery engine.” Artinya, algoritma lebih mengutamakan konten menarik, bukan hubungan antarindividu.
Algoritma dan Budaya Viral
Algoritma adalah otak dari media sosial modern. Ia menyeleksi, menata, dan menayangkan konten berdasarkan satu hal: atensi. Semakin lama seseorang bertahan di aplikasi, semakin sukses algoritma bekerja.
Sayangnya, logika ini menyingkirkan hal-hal personal. Unggahan ulang tahun teman, kabar bahagia, atau keluhan kecil sehari-hari—kalah dari video lucu, konten penuh emosi, atau debat panas. Platform seperti TikTok, Instagram Reels, dan YouTube Shorts menegaskan dominasi ini.
Baca juga: Follower Banyak, Teman Sedikit: Kontradiksi Sosial di Dunia Digital
Budaya viral tumbuh subur. Influencer menjadi pusat perhatian. Metrik menjadi ukuran keberadaan. Satu unggahan bisa menentukan nilai seseorang secara sosial maupun ekonomi.

Makin Aktif, Makin Sepi
Ironisnya, pengguna makin aktif membuat konten, tetapi merasa makin sepi. Riset dari Harvard (2023) menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang tinggi justru berbanding lurus dengan perasaan kesepian, terutama pada generasi muda.
Baca juga: Swipe, Klik, Beli: Media Sosial Mengubah Cara Kita Berbelanja
Di Indonesia, gejala ini juga mulai terlihat. Banyak pengguna yang mengaku rindu masa ketika media sosial terasa lebih “manusiawi”. Beberapa bahkan beralih ke aplikasi pesan pribadi atau komunitas tertutup, demi mencari koneksi yang lebih otentik.
Apa yang Tersisa?
Yang tersisa dari media sosial hari ini adalah panggung besar tanpa penonton yang benar-benar peduli. Kita saling melihat, tapi tidak benar-benar hadir. Kita saling menyapa, tapi lewat emoji.
Saat jejaring sosial berubah menjadi mesin distribusi konten, kita harus bertanya: apakah ini masih “media sosial”? Atau hanya ruang hiburan yang memakai topeng interaksi? ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.