
SETELAH hampir dua minggu negosiasi intensif dan perpanjangan waktu hingga dini hari, Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-29 (COP29) akhirnya mencapai kesepakatan pada Minggu (24/11/2024). Negara-negara maju sepakat untuk menyediakan pendanaan sebesar 300 miliar dolar AS per tahun mulai 2035 guna membantu negara-negara berkembang menghadapi dampak perubahan iklim. Namun, alih-alih meredakan ketegangan, hasil ini justru memicu gelombang kekecewaan.
Komitmen ini dipandang tidak memadai oleh banyak delegasi dari negara-negara berkembang. “Angka ini hanyalah ilusi. Ini tidak cukup untuk mengatasi tantangan krisis iklim,” tegas Chandni Raina, perwakilan India, dalam sesi penutupan COP29. Raina menyoroti bahwa janji tersebut jauh dari kebutuhan nyata untuk memitigasi dampak perubahan iklim yang semakin parah.
Kekecewaan dari Negara Berkembang
Negara-negara berkembang dan pulau kecil yang rentan, seperti Kepulauan Marshall, menganggap kesepakatan ini sebagai langkah awal yang masih terlalu kecil. Utusan Kepulauan Marshall, Tina Stege, menyebutkan bahwa hasil COP29 ini “tidak cukup,” meskipun ia tetap optimistis bahwa langkah kecil ini bisa menjadi pijakan untuk perjuangan selanjutnya.
Menteri Iklim Sierra Leone, Jiwoh Abdulai, bahkan menyebut kesepakatan ini mencerminkan kurangnya niat baik negara-negara maju dalam mendukung negara-negara miskin. Sementara itu, Nkiruka Maduekwe, utusan Nigeria, menyebut nilai pendanaan tersebut sebagai “penghinaan” terhadap kebutuhan mendesak untuk mengatasi krisis iklim.
Negosiasi yang Penuh Drama
Proses menuju kesepakatan ini diwarnai dengan ketegangan. Negosiasi seharusnya selesai pada Jumat (22/11/2024), namun molor hingga dua hari akibat perdebatan sengit. Delegasi dari negara-negara berkembang bahkan sempat melakukan aksi walk out pada Sabtu sebagai bentuk protes terhadap usulan pendanaan yang dianggap tidak adil.
Negara-negara kaya, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, bersikeras agar negara berkembang yang lebih kaya, seperti China dan negara-negara Teluk, turut berkontribusi dalam pendanaan ini. Namun, tuntutan tersebut justru memperkeruh suasana negosiasi.
Sekretaris Eksekutif UNFCCC, Simon Stiell, mengakui bahwa pembahasan pendanaan menjadi salah satu tantangan terberat dalam sejarah COP. “Perjalanan ini sulit, tetapi kesepakatan telah dicapai. Langkah ini penting untuk melindungi miliaran jiwa dan mendorong transisi ke energi bersih,” ujar Stiell.

Pendanaan yang Jauh dari Harapan
Pada awal negosiasi, negara maju mengusulkan peningkatan pendanaan dari 100 miliar dolar AS menjadi 250 miliar dolar AS per tahun. Namun, angka tersebut langsung mendapat penolakan dari negara-negara berkembang, yang menuntut minimal 500 miliar dolar AS per tahun. Tekanan ini akhirnya memaksa negara-negara kaya menyepakati 300 miliar dolar AS, meskipun masih jauh dari harapan awal.
Menurut data UNFCCC, sebagian besar emisi pemanasan global berasal dari negara-negara maju dan Uni Eropa. Dalam hal ini, mereka memiliki tanggung jawab historis untuk memberikan kontribusi lebih besar guna membantu negara-negara miskin menghadapi dampak perubahan iklim.
Namun, hasil COP29 dianggap belum cukup konkret dalam memberikan peta jalan yang jelas untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan meningkatkan kapasitas energi terbarukan.
Tantangan ke Depan
COP29 memberikan pesan yang jelas: kesenjangan antara negara maju dan berkembang masih menjadi batu sandungan utama dalam upaya global menghadapi krisis iklim. Bagi negara-negara berkembang, janji pendanaan sebesar 300 miliar dolar AS hanyalah awal dari perjuangan panjang untuk keadilan iklim.
Ke depan, semua pihak perlu memastikan bahwa komitmen ini terlaksana tepat waktu dan sesuai target. Tanpa implementasi yang tegas, janji-janji ini hanya akan menjadi retorika kosong.
COP30 yang rencananya berlangsung tahun depan akan menjadi momen penting untuk mengevaluasi komitmen yang telah dibuat di Baku. Akankah dunia akhirnya menyaksikan langkah nyata dari negara-negara maju untuk bertindak lebih adil dalam menghadapi krisis iklim? Waktu yang akan menjawab. ***