
Oleh: Hamdani S Rukiah, SH, MH *
Pemerhati Keadilan Sosial, Hukum Bisnis, dan Hukum Lingkungan
KASUS korupsi seolah tak pernah mati di Indonesia. Skandal terbaru impor BBM dan dugaan pengoplosan BBM Pertamax dengan Pertalite yang merugikan negara hingga Rp 193,7 triliun kembali membuktikan betapa sistem pengelolaan keuangan negara masih menjadi lahan basah bagi korupsi. Kasus ini bukan sekadar penyimpangan administratif, melainkan kejahatan luar biasa yang menipu konsumen dan merusak kepercayaan publik terhadap pengelolaan energi nasional.
Pengkhianatan terhadap Keadilan Sosial
Konstitusi Indonesia, melalui Pasal 33 UUD 1945, menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun, praktik pengoplosan BBM ini justru menjadi pengkhianatan terhadap prinsip tersebut.
Konsumen yang membayar dengan harga Pertamax ternyata mendapatkan BBM berkualitas lebih rendah, yang tidak hanya merugikan secara finansial tetapi juga berdampak pada performa kendaraan dan lingkungan. Hal ini menciptakan ketidakadilan sosial, di mana masyarakat kecil yang sudah terbebani oleh inflasi dan kenaikan harga kebutuhan pokok kini harus menanggung tambahan beban akibat praktik korup ini.
Di sisi lain, ketidakmampuan perusahaan milik negara dalam menjaga integritas bisnisnya semakin memperparah ketidakadilan. Sebagai BUMN, perusahaan yang terlibat seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai AKHLAK (Amanah, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif). Sayangnya, nilai “Amanah” yang menjadi fondasi utama dalam pengelolaan sumber daya publik justru dilanggar oleh para pejabat yang seharusnya mengabdi untuk rakyat.
Perspektif Hukum Bisnis: Pelanggaran Serius terhadap Regulasi
Dalam ranah hukum bisnis, kasus ini dapat dikaji melalui berbagai instrumen hukum yang ada. UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat jelas melarang praktik manipulasi pasar yang mengarah pada persaingan tidak sehat. Dengan memalsukan komposisi BBM, pihak yang terlibat tidak hanya melakukan kecurangan bisnis tetapi juga menyesatkan konsumen, yang dalam hukum bisnis dapat dikenakan sanksi pidana dan administratif.
Selain itu, dalam perspektif hukum perlindungan konsumen, Pasal 8 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan klaim yang mereka buat. Dengan demikian, masyarakat yang dirugikan memiliki dasar hukum yang kuat untuk menggugat melalui mekanisme gugatan perdata, bahkan class action jika diperlukan.
Hukum Lingkungan: Ancaman Serius terhadap Keberlanjutan
Dari sisi hukum lingkungan, pengoplosan BBM bukan hanya masalah ekonomi dan bisnis, tetapi juga membawa dampak besar terhadap keberlanjutan lingkungan. BBM yang tidak sesuai spesifikasi bisa meningkatkan emisi gas buang yang berbahaya bagi kualitas udara dan kesehatan masyarakat.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jelas mengatur bahwa setiap kegiatan yang berdampak negatif terhadap lingkungan harus mendapatkan pengawasan ketat, termasuk dalam distribusi dan penggunaan BBM.

Selain itu, pelaku dalam kasus ini bisa dijerat dengan Pasal 98 UU No. 32 Tahun 2009, yang mengatur ancaman pidana bagi mereka yang sengaja melakukan perusakan lingkungan dengan tindakan ilegal. Sayangnya, penegakan hukum di sektor lingkungan masih sering kali lemah, sehingga para pelaku kejahatan korporasi di sektor energi sering kali lolos dari sanksi yang sepadan dengan dampak yang mereka timbulkan.
Hukum sebagai Panglima: Mengapa Penegakan Hukum Masih Lemah?
Dalam teori hukum, hukum seharusnya menjadi panglima, bukan sekadar alat legitimasi bagi kepentingan kelompok tertentu. Sayangnya, dalam banyak kasus korupsi, termasuk skandal pengoplosan BBM ini, penegakan hukum masih cenderung tebang pilih. Besarnya nilai kerugian negara dalam kasus ini seharusnya mendorong tindakan hukum yang lebih tegas dan transparan, bukan hanya menyentuh aktor lapangan tetapi juga pejabat tinggi yang terlibat dalam lingkaran kejahatan ini.
Di sinilah peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, dan lembaga penegak hukum lainnya diuji. Apakah mereka mampu menegakkan keadilan bagi rakyat atau justru tunduk pada tekanan politik dan ekonomi?
Jika korupsi BBM ini tidak ditangani secara serius, maka kita hanya akan menyaksikan siklus berulang di mana praktik manipulatif terus terjadi tanpa ada efek jera yang nyata.
Keadilan Harus Ditegakkan
Kasus pengoplosan BBM Pertamax dengan Pertalite ini adalah cerminan dari betapa korupsi masih menjadi penyakit kronis di Indonesia. Dari perspektif keadilan sosial, hukum bisnis, dan hukum lingkungan, kejahatan ini telah mencederai hak-hak rakyat dan merusak tatanan hukum yang seharusnya melindungi kepentingan publik.
Tanpa penegakan hukum yang tegas dan komitmen nyata untuk memberantas korupsi, maka kejahatan seperti ini akan terus berulang, merugikan negara dan rakyat yang seharusnya menjadi prioritas utama.
Hukum harus benar-benar menjadi panglima, bukan sekadar slogan kosong. Rakyat menunggu tindakan nyata, bukan sekadar janji dan wacana. Keadilan harus ditegakkan, dan pelaku kejahatan ini harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum yang berdaulat. ***
- Penulis adalah Magister Hukum Lulusan Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul Jakarta
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.