
TURKI sedang menapaki fase krusial dalam peta pariwisata dunia. Pemerintah menargetkan pendapatan sebesar 64 miliar dolar AS pada 2025, setelah pada paruh pertama tahun ini saja berhasil meraup 25,8 miliar dolar AS dari kunjungan 26,4 juta wisatawan mancanegara. Tahun sebelumnya, negara ini mencatat rekor dengan 52,6 juta turis dan pendapatan 61,1 miliar dolar AS (Kementerian Pariwisata Turki).
Namun, di balik capaian itu, bayang-bayang krisis iklim semakin nyata. Juli 2025 tercatat sebagai bulan terpanas dalam 55 tahun terakhir, dengan suhu rata-rata nasional mencapai 26,9 derajat Celsius, naik 1,9 derajat dibanding rata-rata 1991–2020. Di kawasan pesisir Mediterania, menurut data Badan Meteorologi Turki, .suhu harian bahkan melampaui 45 derajat.
Musim Panas Bukan Lagi Primadona
Pakar perubahan iklim dari Universitas Hacettepe, Cagatay Tavsanoglu, menyebut tren ini sebagai “pergeseran iklim jangka panjang”. Musim panas yang dulu menjadi puncak kunjungan wisata, kini justru mulai dihindari. “Antalya dan Mugla berpotensi kehilangan magnetnya di bulan Juli–Agustus. Wisatawan bisa saja beralih ke musim semi atau gugur,” ujarnya mengutip Xinhua.
Baca juga: Geopark Indonesia Mendunia, 12 Kawasan Masuk Daftar UNESCO
Pantai Mediterania dan Aegea, yang selama ini menjadi tulang punggung pariwisata Turki, menghadapi ancaman serius karena mengalami kenaikan suhu laut, tekanan panas, hingga kebakaran hutan. Situasi ini menuntut strategi jangka panjang, bukan sekadar reaksi darurat.
Strategi Adaptasi, dari Laut ke Pegunungan
Industri pariwisata mulai beradaptasi. Resor-resor pesisir kini mempromosikan bulan April, Mei, September, dan Oktober sebagai musim alternatif. Di saat yang sama, investasi mengalir ke destinasi baru, pariwisata pegunungan dan dataran tinggi Laut Hitam yang menawarkan kesejukan alami.

“Permintaan air di kota-kota pesisir saat puncak musim sudah melebihi kapasitas. Dengan iklim yang semakin panas dan kering, tekanan ini akan makin berat,” kata Murat Toktas, eksekutif asosiasi hotel seperti dilansir Hurriyet Daily. Menurutnya, wisatawan Eropa pun sudah mulai menggeser jadwal perjalanan, menghindari bulan-bulan ekstrem panas.
Dampak Nyata, Pergeseran Arus Wisata
Fenomena itu kini tercermin dalam angka. Kunjungan ke wilayah selatan Turki pada Agustus turun 20 persen dibanding tahun lalu, sementara destinasi budaya di Laut Hitam justru naik 15–20 persen. “Hampir tak ada kebakaran hutan di wilayah ini. Itu memberi rasa aman bagi wisatawan,” ujar Kepala Pariwisata Budaya TÜRSAB, Ilham Seyyale, kepada Hurriyet Daily.
Baca juga: Laut, Sahabat Senyap yang Menjaga Usia Kita
Selain faktor suhu, wisatawan kini mempertimbangkan curah hujan, kerapatan hutan, dan risiko kebakaran sebelum memilih destinasi. Studi Universitas Boaziçi memperkuat tren ini, memproyeksikan kenyamanan iklim di kawasan Mediterania, Aegea, dan Marmara akan menurun drastis hingga 2050.
Pelajaran untuk Indonesia
Situasi Turki menjadi cermin penting bagi negara lain, termasuk Indonesia, yang juga bergantung pada pariwisata berbasis alam. Krisis iklim tidak hanya soal penurunan kenyamanan wisatawan, tetapi juga tekanan infrastruktur air, risiko kebakaran hutan, hingga perubahan pola kunjungan.
Baca juga: Kontroversi Rencana Wisata di ‘Pulau Komodo’, Investasi atau Invasi?
Bagi pengambil kebijakan dan praktisi pariwisata di Indonesia, pengalaman Turki menegaskan satu hal: strategi adaptasi iklim harus segera diprioritaskan. Investasi pada energi terbarukan, efisiensi air, serta diversifikasi destinasi menjadi kunci agar pariwisata tetap berkelanjutan dalam menghadapi dunia yang kian panas. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.