
LA NINA diperkirakan akan kembali antara September hingga November 2025. Fenomena ini biasanya membawa udara lebih sejuk dan curah hujan meningkat. Namun, jangan buru-buru lega. PBB lewat Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mengingatkan, bumi tetap akan mencatat suhu di atas rata-rata meski La Nina hadir.
La Nina terjadi ketika suhu permukaan Samudra Pasifik bagian tengah dan timur mendingin. Efeknya terasa di banyak wilayah tropis, termasuk Indonesia. Musim hujan lebih deras, banjir lebih mudah datang, dan ancaman longsor meningkat. Sebaliknya, El Nino, si “kembaran panas”, cenderung memicu kekeringan panjang.
Baca juga: Kalau Hutan Habis, Bumi Panas Selamanya
Menurut WMO, peluang La Nina terbentuk sekitar 55% pada September–November, bahkan naik jadi 60% di periode Oktober–Desember. Meski begitu, catatan suhu global tidak akan turun signifikan. “Sepuluh tahun terakhir tetap tercatat sebagai dekade terpanas sepanjang sejarah,” tulis The Guardian mengutip laporan WMO.

Krisis Iklim Tak Bisa Ditunda
Ingat, La Nina 2020–2023 yang berlangsung lama pun gagal mendinginkan bumi. Justru saat itu banyak negara dilanda banjir dan kekeringan bersamaan. Tahun 2024 bahkan tercatat sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah modern.
Baca juga: Krisis Iklim, 2024 Tahun Terpanas Sepanjang Sejarah
Bagi Indonesia, kabar ini adalah alarm serius. Kita harus siap menghadapi hujan ekstrem, tetapi juga sadar bahwa krisis iklim bukan lagi isu masa depan. Dari pangan, energi, sampai aktivitas harian, semua bisa terdampak.
Baca juga: Indonesia Terancam Iklim Ekstrem Hingga 2100
La Nina memang datang, tapi pesan PBB jelas, jangan berharap bumi otomatis adem. Tanpa aksi nyata mengurangi emisi dan menjaga lingkungan, panas ekstrem akan tetap jadi “teman akrab” generasi kita. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.