Mejeng Sekejap, Klaim Seolah Akrab: Wajah Lain Media Sosial

Momen sekejap bersama tokoh terkenal bisa menciptakan kesan kedekatan yang belum tentu nyata. Foto: Ilustrasi/ Edmond Dantès/ Pexels.

DI ERA digital, foto bisa lebih berisik dari kata-kata. Unggahan bersama pejabat, selebritas, atau tokoh terkenal kerap muncul di lini masa—lengkap dengan caption yang seolah memberi kesan kedekatan. Padahal, tak sedikit dari foto-foto tersebut hanya hasil “mampir sekilas”, tanpa hubungan personal apa pun.

Fenomena ini dikenal sebagai social clout-chasing—mencari pengakuan sosial lewat asosiasi visual dengan figur penting. Tanpa perlu benar-benar mengenal, cukup senyum bersama lalu unggah. Dalam sekejap, kesan akrab pun terbentuk.

Panggung Reputasi di Era Visual

Menurut sejumlah pakar komunikasi digital, social signaling lewat foto menjadi cara cepat membentuk persepsi. Unggahan dengan tokoh publik bisa memberi efek legitimasi sosial atau bahkan meningkatkan status personal di mata pengikut. Semakin terkenal sosok dalam foto, semakin tinggi “nilai jual”-nya di media sosial.

Ilusi Kedekatan

Tak sedikit orang menyangka, jika seseorang bisa berfoto bersama pejabat tinggi atau selebritas, maka ada kedekatan atau relasi di baliknya. Padahal, momen itu bisa saja hanya terjadi di acara publik, konferensi, atau bahkan sekadar permintaan spontan di ruang tunggu bandara.

Baca juga: Mengungkap Fenomena “Kebahagiaan Palsu” di Media Sosial

Namun karena tidak ada penjelasan yang jujur di caption, audiens dibiarkan menebak-nebak, bahkan seringkali menyimpulkan lebih dari yang terjadi.

Di balik unggahan foto bersama figur penting, tersimpan potensi ilusi sosial yang dibangun secara visual. Foto: Ilustrasi/ Vitaly Gariev/ Pexels.
Membangun Citra, Bukan Relasi

Di kalangan influencer, politisi lokal, hingga pelaku bisnis, teknik ini kerap digunakan sebagai strategi pencitraan. Mereka tahu, persepsi publik bisa dibentuk dengan visual. Tanpa perlu menyebut klaim apa pun, cukup satu foto dengan tokoh yang “berkelas”, reputasi pun ikut terangkat.

Baca juga: Gen Z dan Kekuatan Media Sosial untuk Berdaya

Mengutip jurnal Digital Society and Social Media Identity dari MIT Press, visualisasi kedekatan seperti ini sering dimanfaatkan untuk membangun “personal branding shortcut”—jalan pintas pencitraan tanpa narasi.

Etika yang Kabur

Masalah muncul ketika unggahan tersebut sengaja dimanipulasi narasinya. Caption ambigu, penggunaan emoji atau kata sapaan seperti “sahabat”, “guru”, atau “inspirasi” yang seolah-olah menunjukkan hubungan khusus, padahal tidak ada interaksi nyata. Hal ini bukan hanya menyesatkan audiens, tetapi juga bisa mengikis kepercayaan publik jika ketahuan tidak sesuai realita.

Bijak Bermedia Sosial

Tak ada salahnya berfoto dengan tokoh terkenal. Yang menjadi soal adalah saat foto itu digunakan untuk membangun persepsi palsu demi pujian atau pengaruh. Dunia maya memang cepat percaya, tapi juga tak lupa. Kredibilitas yang dibangun lewat ilusi mudah runtuh ketika fakta terungkap. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *