Mengapa Hakim di Indonesia Dipanggil “Yang Mulia”?

Foto: Ilustrasi/ Katrin Bolovtsova/ Pexels.

DI INDONESIA, sapaan “Yang Mulia” untuk hakim sudah lama digunakan sebagai tanda penghormatan. Dalam ruang sidang, hakim sebagai pengadil memiliki peran yang tinggi: menegakkan hukum, keadilan, dan kejujuran.

Namun, belakangan ini muncul kritik terhadap penggunaan panggilan ini. Sebagian kalangan menilai, sapaan “Yang Mulia” tidak lagi sejalan dengan nilai kesederhanaan dan kesetaraan yang diusung Pancasila.

Makna “Yang Mulia” dalam Tradisi Peradilan

Penggunaan “Yang Mulia” bagi hakim sebenarnya bukan hal yang unik di Indonesia. Di banyak negara, hakim memang mendapat penghormatan tertentu karena posisi mereka yang menentukan nasib seseorang di hadapan hukum.

Di Amerika Serikat, misalnya, hakim disebut “Your Honor” sebagai simbol penghormatan atas wewenang hukum yang mereka emban. Hal serupa berlaku di beberapa negara Eropa yang menggunakan istilah setara dalam bahasa masing-masing.

Di Indonesia, “Yang Mulia” dimaksudkan sebagai penghormatan yang tidak hanya berlaku dalam ruang sidang tetapi kadang terbawa dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) sekaligus Menkopolhukam, Mahfud MD, penghormatan ini kini terasa berlebihan.

Mahfud MD menyampaikan pandangan tegas soal ini, terutama mengingat aturan formal yang menghapus sebutan tersebut sebenarnya sudah ada.

Mahfud MD: Antara Feodalisme dan Kesederhanaan

Mahfud MD mengungkapkan kritiknya terhadap sapaan “Yang Mulia” bagi hakim di luar sidang resmi. Menurutnya, sebutan ini sebenarnya telah dihapus melalui Tap No. XXXI/MPRS/1966, yang mengganti “Yang Mulia” dengan “Bapak/Ibu/Saudara”.

Mahfud berpendapat bahwa panggilan tersebut berbau feodal dan tidak sesuai dengan prinsip kesederhanaan yang jadi anutan bangsa Indonesia. Menurutnya, penggunaan sapaan ini sebaiknya terbatas di ruang sidang saja. Sementara di luar sidang, hakim cukup dipanggil dengan sapaan formal yang lebih biasa.

Mahfud juga menyoroti bahwa pemberian sapaan kehormatan ini tidak seharusnya mengaburkan fakta bahwa independensi dan profesionalisme dalam sistem peradilan adalah yang terpenting. “Hakim hadir di resepsi pernikahan, di masjid, bahkan ke toilet saja masih disapa ‘Yang Mulia.’ Ini berlebihan,” ungkapnya.

Bagi Mahfud, jika seorang hakim terlalu menikmati sapaan “Yang Mulia” di luar ruang sidang, itu justru menimbulkan kesan berjarak dengan masyarakat.

Feodalisme dan Kolonialisme dalam Panggilan “Yang Mulia”

Panggilan “Yang Mulia” pada hakim memang memiliki akar feodal dan kolonial. Pada masa kolonial, penghormatan semacam ini diterapkan untuk menekankan hierarki kekuasaan. Dengan latar belakang itu, Mahfud berpendapat, penghapusan panggilan ini sejalan dengan semangat bangsa yang ingin menjaga kesederhanaan dan menjauh dari kesan feodal.

Baca juga: Terpidana Mati Akhirnya Bebas Setelah 46 Tahun Dipenjara

Namun, dalam praktiknya, panggilan “Yang Mulia” masih dipertahankan di pengadilan Indonesia. Banyak yang menganggap sapaan tersebut sudah melekat dan merupakan bagian dari formalitas pengadilan. Pandangan ini juga berdasarkan pada keyakinan bahwa sapaan itu membantu menjaga wibawa hakim sebagai pengadil yang harus dihormati di ruang sidang.

Relevansi Panggilan “Yang Mulia” di Zaman Modern

Di era modern ini, penghormatan yang berlebihan terkesan dapat merusak citra peradilan yang seharusnya inklusif dan merakyat. Publik berharap bahwa hakim adalah pribadi yang sederhana dan berintegritas, bukan sosok yang mengesankan jarak atau superioritas.

Sapaan “Yang Mulia” dinilai tidak lagi relevan, terutama dengan adanya kritik terhadap praktik peradilan yang masih menyisakan banyak tantangan, seperti masalah independensi dan transparansi.

Bagi sebagian masyarakat, seorang hakim yang terlalu nyaman dengan sapaan “Yang Mulia” justru dapat memperlebar jarak antara pengadilan dan masyarakat yang dilayaninya. Dalam konteks ini, sapaan “Yang Mulia” dinilai lebih baik terbatas di ruang sidang saja sebagai bentuk penghormatan fungsional. Bukan sebagai lambang superioritas yang menempel pada pribadi hakim. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *