Mengapa TBC Masih Menjadi Masalah Besar di Indonesia?

TBC masih menjadi ancaman besar di Indonesia dengan lebih dari 1 juta kasus per tahun. Meski ada upaya penanggulangan, tantangan besar tetap ada. Apa yang menyebabkan penyakit ini sulit diberantas? Foto: Ilustrasi/ Anna Shvets/ Pexels.

KETIKA dunia bergerak ke depan setelah pandemi COVID-19, satu penyakit kuno terus menyelinap di balik bayang-bayang: Tuberkulosis (TBC). Penyakit ini bukan sekadar catatan sejarah—ia masih hidup dan aktif membunuh.

Di Indonesia, TBC bahkan belum berhasil ditekan secara signifikan, meski sudah ada program nasional sejak Orde Baru. Data terbaru WHO (Global TB Report 2023) menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat kedua tertinggi beban TBC global, setelah India.

Dengan estimasi 1.060.000 kasus per tahun dan 134.000 kematian—atau setara dengan 17 kematian per jam—TBC menjadi ancaman kesehatan masyarakat yang tak bisa lagi ditoleransi sebagai ‘biasa’.

Faktor Akar, Deteksi Rendah dan Stigma Sosial

Salah satu penyebab mendasar masih tingginya angka TBC di Indonesia adalah tingkat deteksi dini yang masih rendah. Pada 2022, jumlah orang yang terdeteksi dan tercatat secara resmi di sistem kesehatan Indonesia jauh lebih rendah dibanding estimasi kasus sebenarnya. Banyak penderita TBC tidak pernah mendapatkan diagnosis, apalagi pengobatan.

Mengutip data Kementerian Kesehatan dan WHO, hanya sekitar 68% kasus TBC yang berhasil ditemukan dan ditangani. Sisanya berada di “dark number” atau kasus laten yang tersembunyi, tidak terlaporkan, atau tidak pernah menyentuh fasilitas kesehatan formal.

Baca juga: Bill Gates Datang, TBC Masih Menghantui Indonesia

Tak hanya itu, stigma sosial terhadap TBC—sering dianggap penyakit miskin, penyakit ‘kotor’, atau akibat karma—masih sangat tinggi. Hal ini menyebabkan banyak pasien enggan memeriksakan diri atau bahkan merahasiakan penyakitnya dari keluarga dan komunitas.

Akses Layanan Tak Merata dan Terkendala Infrastruktur

Meski pengobatan TBC di Indonesia pada prinsipnya gratis dan tersedia, kenyataan di lapangan berbeda. Masih banyak wilayah terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) yang kesulitan mengakses diagnosis tepat waktu atau mendapat pengobatan lengkap. Fasilitas skrining seperti tes molekuler cepat (TCM) belum merata.

Baca juga: Kanker Paru di Era Polusi, Non-Perokok pun Tak Lagi Aman

Selain itu, pengobatan TBC membutuhkan komitmen tinggi dari pasien, karena lamanya durasi pengobatan (6–12 bulan) dan efek samping obat yang bisa membuat pasien menyerah di tengah jalan. Putus obat menjadi salah satu penyumbang munculnya TBC resistan obat (TBC RO), jenis TBC yang lebih mematikan dan sulit diobati.

Komitmen Negara Masih Diuji

Pemerintah Indonesia sebenarnya telah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan TBC dengan target ambisius: eliminasi TBC pada 2030. Strategi nasional mencakup enam langkah utama, dari penguatan layanan kesehatan hingga pelibatan masyarakat. Namun, tantangan implementasi masih besar—terutama pada level daerah, pendanaan, dan koordinasi antarlembaga.

Anggaran untuk TBC di Indonesia juga masih belum mencukupi. Dalam laporan WHO 2023, Indonesia hanya memenuhi sekitar 50% kebutuhan pendanaan untuk program TBC nasional, sisanya tergantung pada donor luar negeri seperti Global Fund dan kini Gates Foundation.

Saatnya Mengubah Narasi, dari Beban ke Prioritas Nasional

TBC bukan sekadar masalah kesehatan, tapi indikator ketimpangan sosial, ekonomi, dan sistem kesehatan. Negara dengan angka TBC tinggi umumnya juga menghadapi tantangan dalam hal kemiskinan, sanitasi buruk, dan akses kesehatan yang tidak merata. Oleh sebab itu, eliminasi TBC harus dipandang sebagai investasi nasional, bukan sekadar proyek kesehatan.

Dengan tantangan sebesar ini, muncul pertanyaan besar: apakah vaksin baru dari Gates Foundation benar-benar akan membawa terobosan? Laporan terakhir sore ini akan membedah lebih dalam tentang teknologi vaksin yang sedang dikembangkan, potensi efikasinya, dan peran Indonesia sebagai laboratorium hidup untuk uji klinis global. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *