
MEDIA sosial kini menjadi etalase digital tempat orang berbagi pencapaian, senyum, dan keindahan hidup. Namun, di balik unggahan penuh warna, tak sedikit yang sebenarnya sedang memikul beban emosional yang berat.
Fenomena ini dikenal sebagai “kebahagiaan palsu”—seseorang tampak bahagia di dunia maya, padahal sedang berjuang dalam diam di dunia nyata.
1. Hidup di Balik Filter
Mengutip ulasan di Hack Spirit, banyak pengguna media sosial membangun citra diri melalui unggahan yang dikurasi sedemikian rupa. Filter, pencahayaan, dan sudut foto yang tepat menciptakan kesan kehidupan ideal. Namun, kenyataan tak selalu secerah tampilan digital tersebut. Banyak yang mengalami kesepian, stres, hingga tekanan hidup yang tak pernah dibagikan.
2. Validasi Lewat Likes
Menurut studi yang diterbitkan di ResearchGate, media sosial kerap menjadi alat pencari validasi diri. Semakin banyak likes atau komentar positif yang diterima, semakin tinggi rasa diterima secara sosial. Namun, kepuasan ini bersifat sementara dan tidak serta-merta mencerminkan kebahagiaan sejati. Hal ini justru bisa menciptakan siklus kecanduan terhadap pengakuan dari luar.
Baca juga: Gen Z dan Kekuatan Media Sosial untuk Berdaya
3. Pelarian dari Dunia Nyata
Masih mengutip Hack Spirit, aktivitas di media sosial sering dijadikan pelarian dari realitas. Saat hidup terasa berat—baik karena tekanan pekerjaan, hubungan yang renggang, atau kondisi finansial—banyak orang bersembunyi di balik unggahan bahagia. Dunia maya menjadi ruang untuk menghindar, bukan menghadapi.

4. Takut Dinilai Gagal
Budaya digital menuntut setiap individu tampil bahagia, sukses, dan produktif. Berdasarkan pengamatan psikolog sosial, tekanan ini membuat orang takut menunjukkan sisi rentan. Mereka hanya menampilkan hal-hal yang terkesan “sempurna”, padahal realitasnya penuh perjuangan yang tidak tampak di layar.
5. Realita yang Tak Sama
Tak jarang seseorang terlihat menikmati liburan mewah atau tampil harmonis bersama pasangan, padahal semua itu bisa saja hasil utang, tabungan bertahun-tahun, atau relasi yang sedang renggang. Gambar-gambar tersebut menjadi narasi visual yang disengaja untuk membentuk persepsi tertentu.
6. Bahagia yang Tidak Perlu Dipamerkan
Orang yang benar-benar bahagia justru sering merasa tidak perlu menunjukkan semua kebahagiaannya ke publik. Mereka lebih memilih menikmati momen secara utuh, tanpa tergesa membagikannya. Sebaliknya, mereka yang merasa kurang bahagia cenderung membuktikan sebaliknya melalui unggahan-unggahan yang dibuat seolah sempurna.
Baca juga: Impresi vs Like: Kunci Memahami Kinerja Konten di Media Sosial
Media sosial bisa menjadi ruang positif, asalkan digunakan dengan sadar. Tidak semua yang tampak bahagia benar-benar bebas dari masalah. Mengutip Hack Spirit, lebih bijak bila kita berhenti membandingkan hidup dengan feed orang lain, dan mulai fokus pada kesejahteraan diri sendiri. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.