Menuju 2050, Mampukah Indonesia Capai 100% Energi Terbarukan?

Teknisi memeriksa panel surya di fasilitas PLTS. Program 100 GW PLTS disebut menjadi fondasi percepatan bauran energi terbarukan di Indonesia. Foto: Trinh Trần/ Pexels.

TARGET besar Indonesia menuju energi bersih 2050 bukan lagi mimpi jauh di depan mata. Laporan terbaru Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) menyebut, dengan strategi yang tepat dan kepemimpinan yang kuat, Indonesia bahkan bisa mencapai 100 persen energi terbarukan sebelum 2050.

Tantangannya, bagaimana menjadikan transisi energi bukan sekadar jargon, tapi rencana aksi yang terukur dan nyata.

100 GW Surya dan Gerakan Desa Energi

Dalam dua tahun ke depan, ada tiga langkah cepat yang direkomendasikan IESR dan ICEF.
Pertama, mengintegrasikan 100 gigawatt (GW) PLTS dan baterai tersebar ke dalam rencana pembangunan ekonomi desa. Artinya, energi bersih tak hanya untuk kota besar, tapi juga jadi motor ekonomi di desa-desa.

Kedua, menambah kuota PLTS atap agar industri, komunitas, dan rumah tangga bisa ikut terlibat langsung. Semakin banyak partisipasi publik, semakin cepat perubahan terjadi.

Baca juga: Kepri Jadi Panggung Besar Energi Bersih Dunia

Ketiga, menerapkan konsep Penggunaan Bersama Jaringan Transmisi (PBJT) supaya akses energi terbarukan bisa dinikmati industri secara luas.

Menurut CEO IESR Fabby Tumiwa, PBJT akan menciptakan kondisi saling menguntungkan:
“PLN bisa menambah pendapatan dan utilisasi jaringan, masyarakat mendapat pasokan listrik yang stabil, dan industri menurunkan jejak karbon,” ujarnya.

Pembangkit listrik tenaga surya dan turbin angin menggambarkan peta jalan energi bersih Indonesia menuju 2050. Foto: Ilustrasi/ Dok. SustainReview.ID.

Langkah Strategis Menuju Energi Bersih 2050

Jangka Pendek (1–2 tahun)
• Integrasi 100 GW PLTS dan baterai di desa
• Tambah kuota PLTS atap untuk masyarakat & industri
• Terapkan PBJT untuk pemerataan akses energi

Jangka Menengah (3–4 tahun)
• Edukasi publik dan partisipasi masyarakat
• Regulasi proyek energi yang bankable
• Kembangkan green jobs & ekosistem hidrogen hijau

Jangka Panjang (hingga 2050)
• Kepemimpinan nasional yang konsisten
• UU Energi Baru & Terbarukan segera disahkan
• Integrasi kebijakan energi, pembangunan, dan iklim


Edukasi Publik dan Green Jobs

Dalam tiga sampai empat tahun ke depan, fokusnya adalah membangun ekosistem dan kesiapan SDM.
IESR dan ICEF menilai pemerintah perlu memperkuat edukasi publik tentang transisi energi, menyiapkan regulasi yang bankable, dan menyelaraskan pasar karbon agar investasi hijau lebih mudah masuk.

Baca juga: 200 Juta Pekerjaan Hijau Menanti Asia Meski Kesenjangan Membayangi

Selain itu, ada peluang besar dari green jobs.
Anggota ICEF Sripeni Inten Cahyani menegaskan pentingnya peran Bappenas, Kemenaker, dan Kemdikbudristek untuk memastikan dunia pendidikan siap menghadapi era energi bersih.
“Transisi energi bukan hanya soal teknologi, tapi juga keterampilan manusia di baliknya,” ujarnya.

Butuh Kepemimpinan dan Peta Jalan Jelas

Kunci terakhir ada pada konsistensi kebijakan dan kepemimpinan nasional.
ICEF dan IESR menilai, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto perlu memperkuat dasar hukum melalui percepatan UU Energi Baru dan Terbarukan (EBT) serta revisi UU Ketenagalistrikan.

Baca juga: Tak Perlu BBM, Sulawesi hingga Timor Bisa Hidup dari Energi Alam

Peta jalan transisi energi juga perlu diintegrasikan dengan rencana pembangunan nasional dan kebijakan iklim. Tujuannya, memastikan semua sektor bergerak ke arah yang sama, menuju masa depan rendah karbon dan berdaya saing.

Indonesia kini berada di titik krusial.
Langkah kecil hari ini akan menentukan apakah 2050 nanti kita benar-benar hidup di bawah langit energi bersih, atau masih terjebak dalam bayang-bayang ketergantungan pada fosil. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *