Mikroplastik di Tubuhmu, Diplomasi di Pundak Negara

Sampah plastik menumpuk di tepi pantai, mencerminkan kegagalan sistemik dalam pengelolaan sampah dan pola konsumsi sekali pakai. Foto: Ilustrasi/ Lucien Wanda/ Pexels.

KAMU mungkin tidak sadar, tapi setiap bulan, tubuhmu bisa “makan” mikroplastik seberat tiga kartu kredit. Bukan cuma dari seafood, tapi juga dari air minum dalam kemasan, garam, bahkan udara yang kamu hirup. Itu bukan teori Itu hasil penelitian Cornell University yang rilis awal tahun ini.

Yang lebih mengkhawatirkan, Indonesia disebut sebagai negara dengan konsumsi mikroplastik tertinggi di dunia. Tapi saat dunia sibuk menyusun kesepakatan global soal plastik dalam forum INC 5.2 Agustus nanti di Jenewa, perwakilan kita masih santai. Alasannya? “Konsumsi plastik kita per kapita masih rendah.”

Kalimat itu bikin banyak orang geram. Salah satunya Penasihat Senior Nexus3 Foundation, Yuyun Ismawati. “Konsumsi memang rendah, tapi polusi kita tinggi. Indonesia jadi salah satu penyumbang mikroplastik terbesar, dan itu nggak bisa diabaikan,” ujarnya.

Industri Plastik Masih Lapar

Di atas kertas, sektor karet dan plastik memang menggiurkan. Data BPS menunjukkan, kontribusinya ke industri manufaktur mencapai 5,37%. Nilai impor plastik pun naik terus. Dari Rp116 triliun di 2020 jadi Rp181 triliun pada 2022.

Baca juga: Mikroplastik Menyusup Lewat Sarapan, Makan Siang, dan Makan Malam

Tapi di balik angka besar itu, ada biaya sosial dan lingkungan yang tidak pernah dihitung. Penelitian dari Dietplastik Indonesia dan Universitas Indonesia memperkirakan, setiap ton sampah plastik kemasan kecil seperti sachet atau pouch bisa menimbulkan kerugian sosial hingga Rp1,67 juta. Biaya itu muncul dari dampak kesehatan, kerusakan lingkungan, dan ketidaknyamanan publik.

Dua suara, satu pesan: hentikan plastik sekali pakai, selamatkan planet ini. Foto: Ilustrasi/ Gustavo Fring/ Pexels.

“Produk sekali pakai murah karena biaya dampaknya disubsidi masyarakat. Itu yang nggak adil,” kata Wakil Direktur Dietplastik Indonesia, Rahyang Nusantara.

Reuse: Gaya Lama, Solusi Baru

Salah satu solusi yang makin sering dibahas adalah sistem guna ulang (reuse). Sebenarnya ini bukan ide baru, tapi sekarang makin relevan. Desain produk yang bisa dipakai berulang kali bisa memangkas 80% dampak lingkungan, karena masalah dimulai sejak tahap desain.

Baca juga: Bye-bye Sachet, Bali Gaspol Lawan Plastik Sekali Pakai Mulai 2026

Rahyang bilang, pemerintah sudah mulai mendukung reuse. Beberapa studi bahkan masuk dalam regulasi. Tapi sayangnya, ada produsen yang justru balik lagi ke plastik sekali pakai. “Sistem guna ulang perlu dijaga. Kalau nggak ada aturan kuat, produsen akan cari jalan paling gampang,” ujarnya.

Saatnya Negara Bicara

Aliansi Zero Waste Indonesia berharap pemerintah tidak terus-menerus berkelit dengan angka konsumsi per kapita. Komitmen Indonesia di forum internasional harus berubah. Dari pasif jadi progresif, dari pembelaan jadi kepemimpinan.

Baca juga: Produsen Plastik Wajib Tanggung Jawab, Akhir Era Sampah Sekali Pakai?

INC 5.2 di Jenewa bukan sekadar forum formal. Ini kesempatan Indonesia untuk membuktikan bahwa Indonesia serius ingin keluar dari krisis plastik. Bukan hanya demi reputasi global, tapi juga demi kesehatan dan masa depan generasi yang tumbuh hari ini, kamu, aku, dan kita semua. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *