
NASIB komitmen hijau perbankan global kini dipertanyakan. Itu yang muncul setelah Net-Zero Banking Alliance (NZBA), aliansi perbankan terbesar yang pernah berjanji menyelaraskan portofolio ke jalur emisi nol bersih pada 2050, resmi dibubarkan.
NZBA, yang dibentuk pada 2021 di bawah naungan UNEP Finance Initiative (UNEP FI), pernah menjadi simbol keseriusan sektor perbankan dalam mendukung transisi hijau. Di masa jayanya, aliansi ini merangkul hampir 150 bank yang menguasai lebih dari 40% aset perbankan global.
Namun, hanya empat tahun kemudian, babak itu berakhir.
Tekanan Politik dan Gelombang Mundur
Keruntuhan NZBA tak bisa dilepaskan dari dinamika politik. Kemenangan kembali Donald Trump di AS dan dukungannya terhadap ekspansi minyak dan gas memicu gelombang penarikan diri dari sejumlah bank besar Amerika, seperti JPMorgan Chase, Bank of America, dan Goldman Sachs.
Tak lama, bank-bank besar di Kanada, Jepang, hingga Barclays di Eropa mengikuti langkah serupa.
“Dengan keluarnya sebagian besar bank global, organisasi ini tidak lagi memiliki dukungan untuk menjalankan transisi,” tulis Barclays dalam pernyataan resminya.
Baca juga: Bank Besar Mundur, Komitmen Hijau Goyah
Untuk bertahan, NZBA sempat melonggarkan pedoman yang sebelumnya mengikat menjadi sekadar panduan. Langkah itu justru memicu kritik karena dianggap melemahkan kredibilitas.
Berakhir sebagai Pusat Referensi
Dalam pernyataan penutupnya, NZBA mengumumkan pembubaran diri dan beralih menjadi pusat sumber daya. Panduan seperti Guidance for Climate Target Setting for Banks tetap tersedia untuk publik, tetapi tanpa mekanisme pemantauan atau penegakan.
“Bank-bank di seluruh dunia dapat tetap menggunakan sumber daya ini untuk menyusun rencana transisi masing-masing,” demikian pernyataan akhir NZBA.
Perubahan ini menandai berakhirnya era akuntabilitas kolektif dan memunculkan kembali pertanyaan besar: siapa yang akan memastikan sektor keuangan benar-benar mendukung target iklim global?
Kekecewaan Aktivis
Keputusan bubarnya NZBA disambut kecewa oleh kelompok advokasi.
“Ini sangat mengecewakan. Bank-bank terbesar di dunia memilih menjauh dari akuntabilitas untuk mencegah dampak terburuk krisis iklim,” ujar Jeanne Martin, Co-Director Corporate Engagement di ShareAction.
Baca juga: Rusak Iklim Bisa Bikin Negara Digugat, Kata Mahkamah Internasional
Martin mendesak para bankir untuk “lebih berani” dalam memastikan modal bergerak sesuai dengan upaya menjaga pemanasan global di bawah 1,5°C.
Dampak untuk Masa Depan
Bubarnya NZBA menjadi ujian bagi arsitektur keuangan hijau global.
Tanpa payung kolektif, tekanan untuk menjaga komitmen kini kembali bergantung pada regulasi pemerintah, pasar, dan desakan publik.
Di Eropa, kewajiban pengungkapan dan rencana transisi tetap ketat, seperti dalam EU’s Corporate Sustainability Reporting Directive (CSRD). Sementara itu, di AS, tekanan politik membuat keterlibatan dalam aliansi internasional menjadi kian sulit.
Baca juga: Bank Dunia Longgarkan Larangan Nuklir
Seorang penasihat kebijakan di Brussel menilai, “Ini bukan akhir dari upaya perbankan menuju net-zero. Ini akhir dari janji kolektif. Selanjutnya, regulator, pemegang saham, dan nasabah yang akan menentukan arah.”

Catatan bagi Indonesia
Bagi pembuat kebijakan dan pelaku industri di Indonesia, bubarnya NZBA menjadi pengingat penting: inisiatif sukarela tidak cukup tanpa dukungan kebijakan dan regulasi yang kuat.
Di tengah upaya memperkuat pasar karbon domestik dan pembiayaan transisi, keberadaan regulasi dan pengawasan yang jelas akan menjadi kunci agar komitmen hijau tidak sekadar janji di atas kertas. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.