
JAKARTA, mulamula.id – Polemik tunjangan pensiun bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali mencuat. Kali ini, dua warga negara menggugat aturan tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap tidak adil dan menjadi beban keuangan negara.
Permohonan uji materi itu diajukan psikolog Lita Linggayani Gading dan advokat Syamsul Jahidin. Gugatan mereka terdaftar di MK dengan nomor perkara 176/PUU-XXIII/2025 pada Selasa (30/9). Keduanya meminta MK menghapus hak pensiun seumur hidup bagi anggota DPR.
Kritik atas UU 12/1980
Gugatan ini menyoal UU Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan serta Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara. Menurut pemohon, pasal-pasal dalam UU ini memberikan celah bagi anggota DPR menikmati pensiun seumur hidup, bahkan jika hanya menjabat lima tahun.
“Ketidakpastian norma dan tidak adanya pembatasan yang jelas membuka peluang anggota DPR mendapatkan manfaat pensiun seumur hidup, sekalipun hanya duduk satu periode,” tulis pemohon dalam dokumen gugatan yang dikutip Rabu (1/10).
Baca juga: DPR Cabut Tunjangan Jumbo, Prabowo Tegaskan Aspirasi Rakyat Didengar
Mereka secara khusus menggugat Pasal 1 Huruf A, Huruf F, dan Pasal 12 Ayat 1 UU tersebut. Pemohon meminta MK menafsirkan ulang pasal-pasal itu agar tidak lagi mencakup anggota DPR sebagai pihak yang berhak menerima pensiun setelah berhenti dari jabatan.
Beban APBN yang Membengkak
Pemohon juga menyoroti besaran manfaat pensiun yang dinilai tidak sepadan dengan masa kerja anggota DPR. Berdasarkan aturan, pensiun pokok dihitung 1 persen dari dasar pensiun untuk setiap bulan masa jabatan. Selain itu, aturan internal DPR melalui Surat Edaran Setjen DPR RI Nomor KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 menetapkan besaran pensiun sekitar 60 persen dari gaji pokok.
Dari perhitungan pemohon, sejak 1980 hingga 2025 terdapat 5.175 mantan anggota DPR yang menerima pensiun. Anggaran yang dibutuhkan negara untuk membayar hak pensiun tersebut mencapai Rp226 miliar per tahun.
“Kerugian nyata dirasakan pemohon karena pajak yang dibayarkan digunakan untuk membiayai manfaat pensiun yang tidak tepat sasaran,” tulis pemohon.
Ketimpangan dengan Sistem Pensiun Publik
Pemohon menilai sistem pensiun DPR tidak mencerminkan prinsip keadilan sosial. Warga negara umumnya harus menabung melalui program pensiun seperti BPJS Ketenagakerjaan dengan syarat tertentu. Sebaliknya, anggota DPR berhak menerima pensiun seumur hidup hanya dengan sekali duduk di parlemen.
Baca juga: MK Vs DPR, Siapa Berwenang Tentukan Format Pemilu?
Selain itu, pemohon juga menyoroti adanya tunjangan hari tua (THT) sebesar Rp15 juta yang dibayarkan sekaligus. Menurut mereka, kebijakan ini makin menambah ketimpangan antara pejabat publik dan rakyat biasa.
Petitum, Hapus Hak Pensiun DPR
Dalam petitumnya, pemohon meminta MK menyatakan pasal-pasal terkait dalam UU 12/1980 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali jika dimaknai tidak mencakup anggota DPR sebagai penerima pensiun.
Mereka berharap MK memberikan putusan yang adil agar pajak rakyat tidak lagi digunakan untuk membiayai pensiun anggota DPR yang hanya menjabat sebentar.
Gugatan ini menjadi ujian bagi sistem keuangan negara sekaligus cerminan tuntutan publik agar kebijakan fiskal lebih berkeadilan. MK dijadwalkan memproses perkara ini dalam waktu dekat. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.