
DI TEPIAN Sungai Ketewel, Bali, sekumpulan relawan dari Sungai Watch sibuk memilah sampah plastik. Setiap bulan, mereka mengumpulkan sekitar 2,5 ton limbah dari perairan sekitar. Dari kemasan makanan hingga botol air mineral, mayoritas berasal dari produk sekali pakai. Namun, siapa yang bertanggung jawab atas tumpukan sampah ini?
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Hanif Faisol Nurofiq punya jawaban tegas: produsen plastik. Saat mengunjungi workshop Sungai Watch pada Senin (24/3/2025), Hanif menegaskan bahwa perusahaan harus membayar ganti rugi jika produk mereka mencemari lingkungan.
“Para polluter wajib menanggung sampah yang mereka hasilkan,” katanya. Pernyataan ini merujuk pada UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta UU Nomor 18 Tahun 2008 yang menyebut produsen sebagai penanggung jawab utama kemasan plastik.
Baca juga: Bali Wajibkan Tumbler Mulai 3 Februari 2025
Jalan Panjang Menuju Akuntabilitas
Selama bertahun-tahun, upaya menekan dampak sampah plastik selalu berhadapan dengan tantangan besar. Regulasi ada, tapi pelaksanaan masih longgar. Banyak produsen mengklaim telah menerapkan tanggung jawab lingkungan, tetapi faktanya limbah terus menumpuk.
Hanif menegaskan pemerintah siap menindak tegas produsen yang abai. “Kalau mereka tidak mau bayar, kita bawa ke pengadilan. Konsekuensinya bisa sampai pidana,” ujarnya. Sikap ini memberi sinyal bahwa pemerintah serius dalam menangani krisis sampah plastik.
Baca juga: Mikroplastik Bikin Panen Asia Anjlok, 400 Juta Orang Terancam Lapar
Langkah ini diharapkan bisa mengubah pola pikir industri. Jika produsen tahu ada konsekuensi hukum, mereka akan lebih terdorong untuk mencari solusi yang lebih berkelanjutan. Tapi, apakah ini cukup?

Audit Sampah
Dalam kunjungan tersebut, pendiri Sungai Watch, Gary Bencheghib, memaparkan hasil audit sampah terbaru. Berdasarkan laporan mereka, Wings dan Danone menjadi dua produsen penyumbang sampah terbesar di Bali dan Banyuwangi.
“Kami menemukan banyak kemasan sekali pakai dari dua perusahaan ini, mulai dari bungkus makanan hingga produk perawatan tubuh dalam kemasan saset,” kata Gary.
Baca juga: Dampak Plastik, Studi Ungkap Ratusan Ribu Kematian per Tahun
Ia berharap produsen beralih ke sistem isi ulang atau mengurangi plastik dalam kemasan mereka. “Kami tidak mau sekadar marketing gimmick. Kami ingin solusi nyata,” tegasnya.
Brand audit ini merupakan bagian dari upaya Sungai Watch untuk menekan perusahaan agar lebih bertanggung jawab. Dengan data konkret, masyarakat bisa lebih sadar siapa yang berkontribusi pada krisis sampah.
Baca juga: Perjanjian Plastik Global di INC-5 Berakhir dalam Kebuntuan
Solusi di Tangan Industri
Dunia usaha punya peran kunci dalam mengatasi masalah ini. Beberapa perusahaan mulai mencoba inovasi, seperti kemasan biodegradable dan sistem isi ulang. Namun, inisiatif semacam ini masih terbatas.
Baca juga: Plastik, dari Inovasi ke Ancaman
Regulasi yang ketat dan kesadaran konsumen bisa menjadi pendorong perubahan. Jika produsen mulai merasakan dampak finansial akibat pencemaran lingkungan, mereka akan mencari solusi lebih cepat.
Kini, bola ada di tangan industri. Apakah mereka akan melihat ini sebagai ancaman atau justru peluang untuk membangun masa depan yang lebih berkelanjutan? ***
Artikel ini hasil kolaborasi antara Mulamula.id dan SustainReview.id, untuk menghadirkan wawasan mendalam seputar isu keberlanjutan dan transformasi hijau.