Putusan MA: Ekspor Pasir Laut Langgar Prinsip Keberlanjutan

Pasir laut yang terbentuk alami di pesisir, ekosistem rentan yang terancam oleh praktik eksploitasi dan kebijakan tak berpijak pada kelestarian. Foto: Kelly/ Pexels.

MAHKAMAH AGUNG (MA) mengirim sinyal kuat kepada pemerintah soal arah kebijakan pengelolaan laut. Dalam putusan penting yang dirilis awal Juni 2025, MA menyatakan Pasal 10 ayat (2), (3), dan (4) dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.

Putusan ini otomatis membatalkan legalitas ekspor pasir laut, kebijakan yang sempat menuai kritik luas dari masyarakat sipil, akademisi, dan pegiat lingkungan. MA menyebut kebijakan tersebut tergesa-gesa dan mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan sumber daya laut.

Regulasi Tanpa Dasar UU

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai PP 26/2023 dibuat tanpa perintah eksplisit dari undang-undang. Peraturan itu hanya didasarkan pada kebutuhan praktik di lapangan, bukan mandat hukum yang sahih. Padahal, setiap kebijakan strategis dalam pengelolaan sumber daya alam, apalagi yang berpotensi merusak lingkungan, semestinya dibangun di atas fondasi hukum yang kuat.

“PP ini dibentuk tanpa dasar perintah undang-undang, melainkan hanya mengikuti kebutuhan praktis,” tulis MA dalam Putusan Nomor 5/P/HUM/2025.

Baca juga: Sepertiga Bumi Bisa Tak Layak Huni, Dunia di Ambang Krisis

Pasal 56 UU Kelautan yang menjadi acuan MA tidak mengatur eksploitasi pasir laut, melainkan menekankan pengelolaan laut yang berkelanjutan dan berbasis pelestarian ekosistem. Ini mempertegas bahwa ekspor pasir laut tidak hanya tidak relevan, tapi juga bertentangan dengan semangat UU.

Risiko terhadap Ekosistem dan Tata Kelola

Kebijakan ekspor pasir laut dinilai MA sangat berisiko terhadap daya dukung lingkungan. Penambangan pasir, meskipun diklaim sebagai bagian dari pengelolaan sedimentasi, bisa mengganggu habitat laut, memperparah abrasi pantai, dan menurunkan kemampuan laut dalam menyerap karbon.

Hamparan pasir laut di pesisir, wilayah rentan yang menjadi sorotan dalam putusan Mahkamah Agung yang membatalkan kebijakan ekspor pasir karena dinilai melanggar prinsip keberlanjutan dan perlindungan ekosistem laut. Foto: Ilustrasi/ Sami Turk/ Pexels.

Langkah pemerintah yang memfasilitasi ekspor pasir dinilai lebih berorientasi pada komersialisasi, bukan konservasi. “Pengaturan ini bersifat terburu-buru dan tidak mempertimbangkan aspek kehati-hatian,” tulis MA.

Baca juga: Mau Healing ke Hawaii? Sekarang Ada Biaya untuk Bumi

Sejumlah studi menunjukkan bahwa pengerukan pasir dalam skala besar seringkali berdampak jangka panjang terhadap dinamika arus, biodiversitas laut, dan kedaulatan pesisir.

Gugatan Publik dan Sejarah Larangan

Permohonan uji materi ini diajukan oleh Muhammad Taufiq, seorang dosen yang menilai PP 26/2023 sebagai bentuk kemunduran regulasi lingkungan laut. Ia menyebut sejak 2002, ekspor pasir laut telah dilarang melalui berbagai regulasi, mulai dari Inpres Nomor 2 Tahun 2002, Keppres Nomor 33 Tahun 2002, hingga Permendag tahun 2007.

Baca juga: Daratan Kekeringan, Laut Naik: Sinyal Krisis Air di Era Perubahan Iklim

Konsistensi pelarangan tersebut mencerminkan kepedulian terhadap dampak ekologis dan geopolitik penambangan pasir laut, terutama di wilayah perbatasan.

Dengan putusan ini, Presiden sebagai pihak termohon diperintahkan mencabut pasal-pasal terkait dari PP 26/2023. Pasal-pasal tersebut juga dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku untuk umum.

Keputusan MA ini menjadi tonggak penting bagi tata kelola laut yang berkelanjutan di Indonesia. Bagi para praktisi keberlanjutan dan pemangku kepentingan di sektor kelautan, ini adalah momentum untuk memperkuat kebijakan berbasis ekosistem, bukan komoditas semata. ***

Artikel ini hasil kolaborasi antara Mulamula.id dan SustainReview.id, untuk menghadirkan wawasan mendalam seputar isu keberlanjutan dan transformasi hijau.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *