
SURABAYA, Mulamula.id – Perubahan besar dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sedang disusun. Wakil Menteri Hukum, Edward O.S. Hiariej atau Eddy Hiariej, menekankan pentingnya mengatur ulang ketentuan tentang Praperadilan dan Peninjauan Kembali (PK) dalam KUHAP yang baru.
Praperadilan akan Diperluas
Saat ini, ada lima objek praperadilan yang diakui, yaitu:
- Sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan.
- Sah atau tidaknya penghentian penyidikan dan penuntutan.
- Sah atau tidaknya penyitaan barang bukti.
- Sah atau tidaknya penetapan tersangka.
- Ganti rugi atau rehabilitasi.
Namun, Eddy menegaskan bahwa cakupan praperadilan akan diperluas. Semua upaya paksa, seperti penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat, bisa menjadi objek praperadilan. Bahkan, satu aspek yang selama ini belum diatur, yakni pemblokiran transaksi perbankan, akan dimasukkan dalam KUHAP baru.
“Pemblokiran transaksi perbankan merupakan bentuk penghentian sementara yang dilakukan atas perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim. Karena itu, pemblokiran harus bisa menjadi objek praperadilan,” jelas Eddy dalam Seminar Nasional R-KUHAP dan Masa Depan Hukum Pidana di Universitas Airlangga.
Baca juga: Perubahan Besar dalam KUHAP, Jenis Putusan dan Penegak Hukum Bertambah
Selain itu, sistem praperadilan yang ada sekarang dianggap kurang adil. Saat ini, gugatan praperadilan bisa gugur jika perkara telah masuk persidangan. Eddy menilai sistem ini harus diubah agar proses hukum dapat dihentikan sementara hingga putusan praperadilan keluar. “Praperadilan seharusnya tidak bisa diulur-ulur hingga perkara berlanjut ke tahap penuntutan,” tegasnya.

Peninjauan Kembali Harus Dibatasi
Isu lain dalam revisi KUHAP adalah pembatasan Peninjauan Kembali (PK). Eddy mengungkapkan bahwa Mahkamah Agung (MA) saat ini memiliki tunggakan 31 ribu perkara, sementara jumlah Hakim Agung tidak mencapai 50 orang.
Di Indonesia, PK kerap dianggap sebagai peradilan tingkat empat, karena bisa diajukan berkali-kali. Padahal, dalam sistem peradilan pidana berlaku asas bahwa setiap perkara harus ada akhirnya.
“Jika PK bisa diajukan berkali-kali, di mana kepastian hukumnya? KUHAP harus membatasi PK agar tidak terjadi penumpukan perkara di MA,” ungkap Eddy.
Baca juga: Bencana Ekologis Jabodetabek, Mengapa Pejabat Tak Pernah Dipidana?
Menurutnya, dalam sistem hukum Belanda, PK adalah alat hukum luar biasa yang hanya bisa digunakan dalam kondisi tertentu. “PK membatalkan putusan berkekuatan hukum tetap, tapi tidak bisa digunakan berulang-ulang,” tambahnya.
Reformasi Hukum Menuju Kepastian dan Keadilan
Revisi KUHAP ini bertujuan untuk menciptakan sistem peradilan yang lebih adil, efektif, dan memberikan kepastian hukum. Dengan perluasan praperadilan dan pembatasan PK, diharapkan tidak ada lagi celah hukum yang bisa dimanfaatkan untuk mengulur waktu atau menghindari keadilan. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.