
JAKARTA, mulamula.id – Negara harus menggelontorkan dana hingga Rp 348 miliar untuk tunjangan perumahan anggota DPR periode 2024–2029. Anggaran jumbo ini muncul karena fasilitas rumah dinas di Kalibata dan Ulujami, Jakarta, dinilai tak lagi layak huni dan sudah diserahkan ke Kementerian Sekretariat Negara.
Tunjangan perumahan diatur melalui Surat Sekjen DPR RI Nomor B/733/RT.01/09/2024. Besarannya ditetapkan Rp 50 juta per bulan untuk setiap anggota DPR. Dengan jumlah anggota sebanyak 580 orang, totalnya setara Rp 348 miliar dalam setahun.
Rp 50 Juta per Bulan, Rp 600 Juta per Tahun
Perhitungan sederhana menunjukkan, tiap legislator akan mengantongi Rp 600 juta setahun hanya dari tunjangan perumahan. Angka ini menambah daftar fasilitas yang diterima selain gaji pokok dan tunjangan lain, yang sudah bisa menembus Rp 230 juta per bulan.
Baca juga: Ramai Tunjangan Jumbo DPR, Adies Kadir Ubah Pernyataan
Ketua DPR Puan Maharani memastikan, besaran tunjangan tersebut bukan angka asal. Menurutnya, kebutuhan sewa rumah di sekitar Senayan memang tinggi. “Hal tersebut sudah kami kaji dengan baik, sesuai kebutuhan 580 anggota DPR dari 38 provinsi,” ujarnya di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (22/8/2025).
Berlaku Setahun, Dipakai untuk Lima Tahun
Meski terlihat besar, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyebut tunjangan ini hanya dibayarkan setahun penuh, yakni sejak Oktober 2024 hingga Oktober 2025. Uang Rp 600 juta per anggota tersebut disebut akan dipakai untuk kontrak rumah selama lima tahun masa jabatan.
“Setelah Oktober 2025, tidak ada lagi tunjangan Rp 50 juta per bulan. Dana itu sudah dipakai untuk kontrak rumah periode 2024–2029,” jelas Dasco.
Dengan demikian, daftar penerimaan DPR setelah Oktober 2025 tidak lagi menampilkan pos tunjangan perumahan bulanan.
Sorotan Anggaran Publik
Meski DPR menegaskan kebijakan ini melalui kajian matang, jumlah Rp 348 miliar tetap menuai sorotan publik. Di tengah tekanan fiskal, defisit APBN, hingga beban subsidi energi, angka tersebut dinilai menambah daftar belanja negara yang berpotensi memicu kritik.
Pengamat anggaran menilai, transparansi penting agar publik memahami alasan di balik tunjangan fantastis tersebut. Tanpa penjelasan yang memadai, risiko ketidakpercayaan publik terhadap institusi legislatif akan semakin besar.
Bagi DPR, tunjangan ini dianggap kebutuhan operasional. Legislator yang tidak lagi memperoleh rumah dinas membutuhkan akomodasi memadai agar bisa bekerja di Jakarta. Namun di mata masyarakat, angka Rp 50 juta per bulan menimbulkan pertanyaan besar: apakah skema ini wajar, atau justru membebani negara? ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.