Saat Trotoar Beralih Fungsi: PKL, Parkir, dan Motor

Trotoar impian seharusnya seperti di salah satu kawasan Jakarta Pusat ini—tertata rapi dan bebas dari intervensi pengguna sepeda motor maupun lainnya, menciptakan ruang aman bagi pejalan kaki. Foto: Tom Fisk/ Pexels.

SIANG hari di jantung kota. Matahari terik, jalanan ramai. Di trotoar, alih-alih pejalan kaki yang mendominasi, justru lapak-lapak pedagang, motor parkir, hingga ojek online yang berhenti menunggu penumpang. Trotoar telah beralih fungsi.

Pemandangan ini bukan hal baru. Dari Jakarta, Surabaya, hingga Medan, trotoar kerap dipenuhi PKL dan kendaraan. Padahal, aturan sudah jelas. Tapi mengapa fenomena ini terus terjadi?

Ketika PKL dan Pengendara Menguasai Trotoar

Trotoar di kota-kota besar sering menjadi tempat berjualan. PKL mengandalkan trotoar untuk bertahan hidup. Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM, ada lebih dari 22 juta PKL di Indonesia, dan banyak dari mereka memilih trotoar sebagai tempat usaha karena murah dan strategis.

“Ada pelanggan, ada rezeki. Kalau dipindahkan ke tempat resmi, sering sepi,” kata Rudi (45), pedagang makanan di trotoar kawasan Blok M, Jakarta.

Namun, tidak hanya PKL yang menguasai trotoar. Motor juga ikut merampas ruang pejalan kaki. Di banyak titik, trotoar jadi tempat parkir dadakan. Ojek online pun sering berhenti di trotoar untuk menjemput penumpang.

Lantas, siapa yang salah?

Baca juga: Trotoar, Hak Pejalan Kaki yang Terabaikan?

“Pelanggaran ini terjadi karena ada kebutuhan ekonomi dan lemahnya pengawasan,” kata Pengamat Tata Kota, Nirwono Joga, kepada media dalam sebuah kesempatan. “Jika tidak ada solusi bagi PKL dan parkir liar, masalah ini akan terus berulang.”

Jangan biarkan trotoar seperti ini—dipenuhi lapak dagang dan parkir motor hingga nyaris tak tersisa ruang bagi pejalan kaki. Trotoar adalah hak semua orang. Foto: JJJ Jouuun/ Pexels.
Dampak bagi Kota dan Pejalan Kaki

Trotoar yang tidak steril berdampak besar:

  • Keselamatan terancam: Pejalan kaki dipaksa turun ke jalan, meningkatkan risiko kecelakaan.
  • Kota jadi semrawut: Tata kota yang buruk membuat kualitas hidup menurun.
  • Mobilitas terganggu: Kota-kota besar semakin macet karena jalur pedestrian tak lagi nyaman.

“Sebagai pekerja yang mengandalkan KRL dan busway, saya butuh trotoar yang aman. Sekarang, jalan kaki di kawasan tertentu malah bikin stres,” kata Putri (27), karyawan di Jakarta.

Solusi, Menata Ulang Tanpa Merugikan

Di beberapa kota, ada upaya untuk menertibkan trotoar tanpa menggusur.

  • Jakarta: Pemkot mulai menertibkan trotoar dan menyediakan lokasi alternatif bagi PKL, seperti di kawasan Tanah Abang (meski masih ada yang terintervensi seperti di kawasan Wahid Hasyim)
  • Surabaya: Revitalisasi trotoar dilakukan dengan pendekatan sosial agar PKL bisa tetap berjualan di zona khusus.
  • Solo: Ojek online dilarang menunggu penumpang di trotoar, dengan sistem pick-up point yang lebih tertata.

Solusinya bukan sekadar penggusuran, tapi tata kelola yang adil. Semua pihak, dari pemerintah hingga pengguna trotoar, perlu mencari keseimbangan agar ruang publik tetap berfungsi sebagaimana mestinya.

Apakah trotoar bisa kembali kepada pejalan kaki? Jawabannya ada di tangan kita semua.

(Bersambung di artikel sore: Merebut Kembali Trotoar…)

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *